KESULITAN MENULISKAN SEJARAH LOKAL

Kang Warsa: Pengajar di MTs Riyadlul Jannah
Dua dimensi penulisan sejarah adalah tentang “apa yang terjadi” dan “apa yang telah terjadi”, menurut Troillot sering menjebak siapa pun untuk masuk ke dalam permainan kekuasaan terhadap penciptaan fakta dan sumber-sumber sejarah. Penulisan sejarah tidak pernah lepas dari unsur: sosial bahkan politis. Persoalan ini memang ada di ruang lingkup kademis atau intelektual, hanya saja, keserba cepatan sejarah harus segera dibuat demi alasan sebagai landasan berpijak sebuah bangsa ,sering melupakan kita pada hal penting, bahwa sejarah ada di masa lalu, maka mebutuhkan penelitian-penelitian yang akan mendekatkan sejarah yang diyakini dengan fakta historis dari sejarah tersebut.

Melakukan penelitian kesejarahan memang bukan hal mudah. Faktor-faktor seperti: Minimnya kepustakaan atau literatur, sumber dana untuk penelitian, dan hasrat-hasrat politis penulisan sejarah merupakan hal yang sering dibicarakan dan diperdebatkan oleh para sejarawan. Maka, penulisan sejarah melalui penelitian ini sudah pasti memerlukan waktu lama, belum lagi betapa terlalu ingin cepatnya kita membuka kotak pandora sejarah ini. Sejarawan Barat bisa saja merasa lebih lega jika dibandingkan dengan sejarawan-sejarawan nasional apalagi sejarawan lokal. Dukungan terhadap penelitian yang dilakukan oleh para sejarawan Barat oleh pemerintah mereka lebih baik jika dibandingkan dengan Indonesia. Bukan hanya pada tingkat lokal, juga diberi desakan untuk melakukan penelitian-penelitian sejarah wilayah lain.

Ada semacam kehati-hatian, penulisan sejarah di tingkat lokal telah diberi peringatan : dalam menuliskan sejarah lokal, peneliti akan menemui berbagai hasrat dan dorongan mengenai peristiwa-peristiwa penting yang harus ditampilkan semeriah mungkin. Hasrat ini tentu saja memiliki muatan politis dan sosial dari sekedar akademis dan ilmiah. Sebab apa? Desentralisasi telah mendorong daerah untuk membuktikan diri, bahwa daerah-daerah mereka memiliki keunggulan dan potensi lebih dari wilayah-wilayah lain, tanpa kecuali akar historis atau sejarah daerah tersebut. Fenomena ini terlihat dari diangkatnya pelaku-pelaku sejarah sebagai pahlawan daerah kemudian disematkan pada plang nama-nama jalan utama di daerah tersebut. Pandangan kehati-hatian bisa jadi hanya berlaku dalam sisi-sisi akademis, sebab faktanya, orang lebih menyikapinya dengan apriori terhadap sejarah daerahnya sendiri.

Tidak semua peristiwa “yang terjadi” dan “yang telah terjadi” bisa dituliskan sebagai hal yang memiliki nilai sejarah. Alasannya, sebuah peristiwa akan dikatakan memiliki nilai sejarah jika membawa perubahan besar pada sebuah bangsa, orientasi bangsa, dan pandangan bangsa tersebut. Pandangan ini, justru hanya menempatkan sejarah pada sebuah kotak kaca atau kotak kristal. Seolah hanya hal-hal tertentu yang membawa perubahan besar bisa dituliskan sebagai sebuah sejarah. Seolah hanya pelaku-pelaku dan tokoh-tokoh besar saja yang telah mencatatkan sejarah dalam hidupnya hingga tercatat dalam sejarah. Fakta ini memang tidak bisa disangkal. Sejarah kehidupan manusia hanya diisi oleh tokoh-tokoh sejarah karena mereka memiliki kapasitas dan kualitas tertentu di zamannya. Ramses II lebih dikenal luas dalam kehidupan bangsa beradab sekarang ini daripada seorang Elia. Kita pun akan lebih mengenal seorang ‘Abu Jahal’ daripada mengenal orang-orang yang lebih dekat dengan kita, leluhur kita. Ini menjadi sebuah hal yang dipasti-pastikan, seolah budaya lisan dan tulisan bangsa ini begitu lemah. Faktanya, tidak demikian.

Bagaimana pun, entah alasan sosial, budaya, dan politis, sejarah lokal harus dituliskan. Rekam jejak kehidupan di masa lalu harus dimuat melalui literasi-literasi. Membaca kalimat di atas, tentu penulisan sejarah lokal bukan sebuah pekerjaan mudah apalagi ketika sejarah dicatat atas alasan politis, ini akan menumbuhkan kekaburan, bias, dan lebih mengarah kepada deviasi sejarah. Jika sejarah memang ditulis oleh para pemenang perang, kaum elit, maka disana telah timbul satu keyakinan, mereka-kaum marjinal yang tersisihkan- tidak akan pernah bisa menorehkan sejarah, peristiwa besar dalam kehidupan. Demikian memang, penulisan sejarah lebih didesak oleh kepentingan-kepentingan politis, benturan peradaban dan budaya. Sejarah ditulis melahirkan dua karakter kelompok manusia; protagonis sebagai para pahlawan dan antagonis sebagai para penghianat. Kajian-kajian dalam historiografi telah mampu memetakan, penulisan sejarah atas desakan politis ini telah melahirkan polarisasi dunia dan kehidupan: kecamuk perang, pertumpahan darah antara pejuang dengan musuh, pembunuhan pun menjadi hal biasa dan dipandang sebagai semangat heroik.

Ada sisi-sisi kehidupan di masa lalu yang tidak harus selalu diwacanakan kemudian diberi fakta-fakta buatan. Hal ini tercermin dalam sejarah kehidupan kelompok sosial masyarakat yang terabaikan. Toponomi dan pemberian nama sebuah kampung bisa menjadi awalan baik jika sejarah bisa ditulis oleh siapa pun. Apakah membawa perubahan besar pada kehidupan atau sama sekali tidak yang pasti nama sebuah kampung sampai sekarang masih ada. Entitas terbesar di kampung tersebut pun sudah pasti akan tercatat sebagai pelaku sejarah. Setiap orang memiliki sejarah kehidupan sendiri-sendiri lantas mengejawantah menjadi sejarah yang menciptakan sebuah peristiwa besar bagi masyarakat setempat.

Di masa kini, peristiwa-peristiwa hari ini begitu mudah dicatat dan akan tetap tercatat dalam bank-bank data virtual hingga ke masa depan. Budaya tulisan telah diterjemahkan menjadi bahasa reportase akan semakin memudahkan peristiwa hari ini dicatat sebagai sejarah. Saat teknologi dan informasi semakin maju, maka penulisan sejarah akan semakin mudah namun cenderung melupakan substansi penting dalam sejarah, konsklusi sederhana dalam kehidupan, sebuah keajegan berpikir. Manusia di masa depan akan lebih mudah mencari informasi peristiwa-peristiwa di masa sekarang. Namun tetap saja, di masa depan, generasi anak-cucu kita harus menyusun informasi-informasi yang tertata acak menjadi rangkaian informasi yang tersimpan dalam bingkai sejarah.

Kurangnya literatur perkembangan sejarah lokal (Red- Sunda) disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, sejak semula ada, dinamika politik di tatar Sunda tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan daerah-daerah sub sahara, ini terjadi karena kondisi alam tatar Sunda begitu kaya dengan sumber daya alam. Orang-orang Sunda lebih mengaktualisasikan diri ke dalam tindakan-tindakan kontemplatif daripada melakukan pendekatan politis terhadap persoalan kehidupan. Kedua, kehidupan kontemplatif lebih mendekatkan masyarakat pada iklim saling menjaga dan menghargai, tidak terlalu memokuskan diri terhadap kekuasan dan untuk menguasai wilayah-wilayah lain, mereka lebih memberikan dorongan terhadap aspek-aspek kerohanian yang tidak dilembagakan menjadi pranata-pranata sosial tertulis. Ketiga, literasi dan budaya tulisan lebih memusat pada ajaran-ajaran moral, etika, dan tatanan nilai. Naskah Amanat Galunggung salah satu contoh literatur Sunda yang memusatkan perhatian pada hal tersebut.

Semangat kemajuan ilmu-ilmu modern akan menyalahkan sikap para leluhur Sunda, sebab dengan minimnya literatur yang ditorehkan ke dalam prasasti atau artefak-artefak akan menjadi penyebab kesulitan menyusun rangkaian sejarah menjadi sebuah berita profetik, pencerahan di masa lalu terhadap kondisi kekinian. Jika demikian, sejarah memang merupakan sebuah kajian yang masih diliputi oleh misteri. Apa yang dituliskan oleh para sejarawan belum tentu mewakili dimensi “apa yang terjadi sebagai sebuah fakta historis” dan apa “yang telah terjadi” sebagai keyakinan historis. Maka, sejarah hanya merupakan butiran-butiran kristal di antara lautan cerita di masa lalu. Susunan ceritanya sering terlihat acak dan melompat-lompat seperti tidak tersusunnya fosil-fosil purbakala yang ditemukan oleh para arkeolog. [ ]

Dimuat di Radar Sukabumi, Edisi Jum'at, 27 Oktober 2013 

Posting Komentar untuk "KESULITAN MENULISKAN SEJARAH LOKAL"