Pikiran kritis Dekker memengaruhi beberapa tulisan Ki Hadjar Dewantara (KHD). Sejak semula, KHD memang sangat konsern terhadap pendidikan di Hindia Belanda, menulis beberapa artikel dengan nada datar. Saat tulisan dengan judul Als Ik een Nenderlander was diterbitkat, pemerintah Belanda sudah menaruh curiga, jika tulisan keras berisi kritik terhadap Belanda merupakan bisikan-bisikan dari Dekker. KHD dibuang atas permohonannya sendiri ke Bangka.
Kerapuhan dan kebobrokan pemerintah seakan menjadi pewarna yang menghiasi setiap panggung kehidupan dari masa ke masa. Sebagai seorang aktifis yang menggeluti dunia pendidikan, KHD merasakan ada ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Hindia Belanda karena sikap bobrok pemerintah waktu itu. Berimbas pada pendidikan yang diterima bahkan tidak diterima sama sekali oleh rakyat. Nukilan dalam artikel tersebut berisi: "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya". Telah memanasi Belanda.
Dalam artikel tersebut KHD memang tidak menyinggung secara ekspilsit ketidakadilan pendidikan yang dirasakan oleh rakyat. Namun secara garis besar, adanya sistim yang diterapkan oleh Belanda waktu itu telah menjawab persoalan secara keseluruhan , bagaimana ketidakadilan Belanda tersebut berimbas pada pendidikan di Hindia Belanda.
Pengkastaan dan klasterisasi pendidikan terjadi. Warga pribumi sebagai mayoritas hanya mengisi sekolah-sekolah kelas III, minim dengan fasilitas, tenaga pendidik, dan mata ajar. Di sekolah-sekolah kelas III dibenamkan pemahaman dan pola pikir keliru; “sekolah tidak perlu tinggi-tinggi, yang penting bisa membaca, menghitung, dan menulis saja. Setelah lulus, jadilah pegawai, jadilah sebagai ambteenar kelas biasa.” Hembusan ini memengaruhi pemikiran rakyat, terbenam di alam bawah sadar mereka, tercipta pandangan keliru, jika sekolah dan pendidikan diadakan untuk menciptakan robot pekerja setelah lulus. Diploma diseases seperti ini tertransformasi hingga sekarang.
KHD mendirikan Taman Siswa, di dalamnya termuat tujuan-tujuan utama pendidikan; tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada, dengan bahasa sederhana disimpulkan: memanusiakan manusia. Manusia dimanusiakan bukan dicetak menjadi robot atau mesin pencari pekerjaan. KHD merupajan tipikal non formalitas, tanpa sebuah pengakuan secara legal pun, manusia tetap harus mengenyam pendidikan, meskipun untuk era sekarang, legalitas formal tersebut memang telah melekat erat dengan kehidupan kita.
Toch, pendidikan di Negara ini hingga sekarang tetap menemui persoalan; jalan menikung, hingga bercak-bercak hitam yang harus dipikirkan secara serius. Regulasi pemerintah pun terlihat bukan hanya tambal sulam, namun lebih kepada rombak total dengan sistim baru. Padahal muatan dan tujuan utama pendidikan adalah itu-itu juga. Di ujung pemerintahan SBY, Kurtilas dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan, hingga saat ini masih menyisakan pertanyaan; akan diapakan kurtilas ini? Dari ketergesaan diterbitkan kurikulum ini terlihat jelas; harus ada jejak kerja yang ditinggalkan oleh pemerintah sebelumnya, bahwa mereka pernah bekerja, salah satunya pernah melahirkan kurtilas ini.
Ketidakadilan di bidang pendidikan yang dirasakan oleh rakyat di Hindia Belanda seperti ungkapan KHD tetap masih tertransformasikan, bahkan semakin ajeg, meskipun pada satu sisi dalam UUD 1945 disebutkan, setiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran, namun ketidakadilan pendidikan ini bukan dirasakan oleh individu per individu di masa sekarang. Ketidakadilan ini telah dirasakan oleh lembaga per lembaga. Sebagai contoh; sistim PPDB Online telah menggiring lulusan Sekolah Dasar berbondong-bondong masuk ke sekolah-sekolah negeri.
Penjaringan terjadi berdasarkan nilai, sudah dipastikan; siswa yang tidak mampu memenuhi nilai harus keluar dari sekolah pilihannya. Lebih ekstrem bisa dikatakan: siswa-siswa dengan nilai (kuantitatif) di bawah rata-rata PPDB online akan memasuki sekolah-sekolah swasta, sementara siswa dengan nilai akademik tinggi akan mengisi sekolah-sekolah negeri. Ini merupakan tantangan bagi sekolah-sekolah swasta untuk menggarap secara serius siswa-siswa dengan nilai minim agar pada saat Ujian Nasional nanti harus bisa mengimbangi siswa-siswa dari sekolah negeri, karena jika tidak demikian akan dinyatakan tidak lulus. Ketidakadilan sebenarnya bukan terletak pada PPDB online, ini hanya merupakan variable y- dari variable x-nya: lulus dan tidak lulus dinyatakan dengan nilai akademik.
Indikator utama kelulusan oleh nilai –numerik inilah yang telah membebani siswa dan lembaga-lembaga pendidikan di Negara ini. Ketika ada persoalan yang muncul ketika ada satu sekolah tidak lulus hampir 100% tidak bisa dijawab dengan seenaknya: “itu sekolahnya saja yang tidak benar!”. Jawaban seperti ini mengindikasikan ketidakberesan dalam sebuah sistim yang telah dijalankan. Kita bisa saja berdalih, inilah seleksi alam. Lho, apakah pendidikan bagi manusia pun tetap harus disodorkan seleksi alam, jika demikian, kenapa seleksi alam tersebut harus dibatasi oleh aturan batas nilai kelulusan? Jika seleksi alam benar-benar diterapkan yang harus lahir bukan lulus atau tidak lulus, melainkan kuat atau lemah, dalam bahasa sarkastik: pintar dan bodoh. Lulus dan tidak lulus yang hanya didukung oleh nilai, bukan seleksi alam, sebab hanya sekelumit saja dalam kehidupan. Kenapa kelulusan dan ketidaklulusan tersebut tidak diukur oleh: seberapa jauh siswa bisa menjawab persoalan-persoalan hidup, misalkan: bagi seorang siswa SMK, sejauh mana siswa tersebut telah bisa memperbaiki mesin? Bagi siswa SMA, kenapa kelulusan tidak dibuktikan dengan hasil karya tulis, bukankan setiap sekolah selalu melakukan study tour atau karya wisata?
Ketidakadilan ini harus segera dilurukan. Para Guru dan lembaga-lembaga pendidikan pun akan merasakan ketidakadilan yang telah diciptakan oleh pemerintah dalam hal pendidikan ini. Jika kelulusan siswa masih tetap harus ditentukan oleh nilai, maka kewajiban pemerintah adalah menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan secara maksimal dan memberikannya kepada setiap sekolah dari Kota besar hingga ke pelosok dengan efektif. Jika masih belum bisa, maka jadilah Ki Hadjar Dewantara!
Semoga bermanfaat.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Als Ik Een Nenderlander Was dan Pendidikan Kita"
Sila kirim tanggapan atau saran...