Pelajaran dari Berkebun

Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, saya bersama para siswa lainnya diberi tugas oleh Pak Ajat (alm) menanam berbagai jenis tumbuhan di belakang sekolah.Bagi anak-anak berusia antara 11-13 tahun sudah tentu aktivitas berkebun di sekolah merupakan suatu kegembiraan. Rata-rata para siswa akan lebih memilih berkebun daripada harus belajar di dalam kelas.

Tumbuhan yang kami tanam cukup beragam, mulai dari bawang-bawangan, umbi-umbian, hingga tanaman yang berbuah agak lama hingga berbulan-bulan seperti jagung. Setiap siswa mendapatkan giliran untuk menyiram, menyiangi rumput, dan memelihara tanaman dari gangguan hama dan ayam. Tugas melakukan itu semua biasanya ditentukan oleh jadwal piket.

Warisan dari Leluhur

Kebiasaan berkebun dan kenapa anak-anak begitu menyukainya, hal tersebut tidak terjadi tanpa alasan. Sejak 13.000-10.000 tahun lalu, leluhur manusia telah memulai sebuah revolusi cara hidup baru dari berburu dan meramu kepada budaya bercocok tanam.

Tradisi pertanian di era revolusi agrikultur itulah yang diwariskan oleh para leluhur manusia kepada generasi setelahnya. Mula-mula dalam bentuk interaksi sosial, tetapi lambat laun, tradisi pertanian dan bercocok tanam tersebut membenam dalam diri para leluhur, menciptakan berkas dan memori, lantas direkam dalam DNA yang diwariskan kepada generasi setelahnya hingga saat ini.

Ngahuma di Masyarakat Sunda

Saat para ahli ilmu sosial menyebut revolusi agrikultur untuk era ketika manusia mulai mengenal dan mengembangkan pertanian, masyarakat Sunda menyebutnya dengan istilah ngahuma. Huma merupakan lahan garapan atau areal pertanian yang letaknya dijauhkan dari pemukiman.

Kenapa leluhur manusia memilih areal pertanian yang jauh dari tempat tinggal memang harus dicari alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal sehat daripada kita menariknya pada ranah yang lebih magis. Paling tidak, penempatan letak huma yang jauh dari pemukiman ini disebabkan oleh era ketergantungan masyarakat kepada alam -saat itu- masih begitu besar.

Areal pertanian di masyarakat ngahuma merupakan pertanian tadah hujan. Sampai ditemukan teknik pertanian bercocok tanam padi di dataran rendah dan teknik irigasi beberapa abad kemudian, ngahuma merupakan teknik bercocok tanam yang dominan di masyarakat Sunda. Hal itu sampai tertuang di dalam ungkapan : kadé ulah paséa, bisi pajauh huma. Sebuah pepatah kepada generasi sekarang agar menjauhi pertikaian dengan sesama.

Itulah, kenapa ketika anak-anak sekolah berkebun di belakang gedung sekolah lebih memperlihatkan sikap ceria daripada merengut dan mementingkan diri sendiri. Anak-anak lebih memperlihatkan kekompakan dengan sesama mereka, sikap yang dulu pernah dipraktikkan oleh leluhur mereka, masyarakat ngahuma.

Domestikasi Demi Keberlangsungan Spesies

Peralihan kebiasaan leluhur manusia dari berburu dan meramu ke pertanian bukan berarti para leluhur manusia hendak memutuskan ikatan hubungan dengan alam. Ada alasan penting yang dapat dijelaskan dengan kelahiran revolusi pertanian.

Pertama, penjelajahan para leluhur manusia ke tempat terjauh sangat berisiko baik terhadap keberlangsungan hidup mereka juga terhadap kebertahanan generasi pewaris. Pemukiman dibuat oleh para leluhur agar mereka lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya dan melahirkan keturunan, berkembang biak, dan menciptakan masyarakat agar mereka benar-benar mampu bertahan hidup di alam yang masih didominasi oleh satwa liar.

Dengan dalih apapun, jumlah atau kuantitas populasi sering menjadi penentu kemenangan dalam pertempuran di panggung sejarah kehidupan. Mayoritas kerap beririsan dengan dominasi hingga hegemoni.

Kedua, domestikasi tumbuhan dan binatang telah menyelamatkan spesies tumbuhan dan binatang dari kepunahan. Padi yang semula hanya dipandang sebagai tumbuhan perdu telah mewujud menjadi makanan pokok masyarakat karena didomestikasi oleh manusia dari generasi ke generasi.

Binatang-binatang peliharaan seperti; ayam, kambing, sapi, dan hewan ternak lainnya semakin membengkak populasinya setelah dipelihara dan dikembangbiakkan oleh manusia. Bandingkan dengan binatang yang dibiarkan hidup di alam bebas, spesies mereka justru banyak yang terancam punah. Untuk menghindari kepunahan beberapa satwa liar, manusia modern mencontoh kepada prilaku para leluhur mereka dengan membuat penangkaran satwa, suaka margasatwa, hingga kebun binatang.

Bukan hanya eksistensi manusia, satwa, dan tumbuhan, kehidupan bercocok tanam yang dikembangkan dan terus semakin maju telah mengubah cara baru dalam berkehidupan. Di era berburu dan meramu, leluhur manusia hanya baru sampai pada penemuan perkakas yang dapat menunjang aktivitas mereka, antara lain; kapak genggam, gurdi dari tulang-belulang, pebble, dan anak panah (flake).

Ledakan penemuan dan penggunaan perkakas menjadi lebih efektif dan maju jika dibandingkan dengan masa sebelumnya berlangsung selama revolusi pertanian. Di era pertanian leluhur manusia telah mampu membuat perkakas penunjang pertanian seperti yang terjadi di masyarakat Sunda. Mereka telah mampu membuat kujang sebagai pemangkas gulma, parang atau arit, cangkul, pembajak tanah, dan aseuk (kayu runcing untuk membuat lubang kecil pada tanah tempat benih ditaburkan).

Sistem pertanian juga mengharuskan leluhur manusia menciptakan alat-alat sebagai penunjang pascapanen. Leuit, lumbung penyimpanan hasil panen, giribig dan tampir tempat pengeringan padi, tolok tempat menyimpan padi yang telah kering, lisung dan halu mesin tradisional penumbuk padi agar menjadi beras, cécémpéh untuk membersihkan beras dari sisa-sisa atau residu dedak, aseupan dan sééng untuk menanak nasi.

Keterhubungan leluhur manusia dengan alam langit mulai meluas di era pertanian. Jika di era berburu dan meramu manusia hanya memokuskan perhatian pada apa yang mereka buru, di era pertanian manusia harus menengadahkan wajah ke langit untuk membaca pertanda alam, kapan waktu yang tepat untuk memulai bercocok tanam. Masyarakat tradisional Sunda, misalnya, menjadikan rasi bintang Orion atau Wuluku sebagai pedoman memulai bercocok tanam.

Paling tidak, dengan mengembalikan ingatan atau memori kita kepada sejarah yang telah dilalui oleh leluhur manusia dapat menyadarkan manusia modern terhadap hakikat sebenarnya "ketahanan pangan". Ketahanan pangan bukan sekadar sebuah program agar di masa depan kebutuhan pangan rakyat dapat terpenuhi, lebih dari itu merupakan bentuk kerja sama dan saling menghormati antara manusia dengan alam.

Hal itu telah diajarkan oleh ayah, ibu, kakek, nenek, dan guru-guru kita melalui kegiatan sederhana berkebun di sekolah. saat kita masih kecil. Sebuah lagu anak berjudul Menanam Jagung diciptakan untuk mengenang dan mengenalkan manusia pada hakikat dari berkebun. Ayo kawan kita bersama//Menanam jagung di kebun kita // Ambil cangkulmu // ambil pangkurmu // Kita bekerja tak jemu-jemu. Lirik lagu ini tentu masih kita ingat dengan baik.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Pelajaran dari Berkebun"