SELALU MENUDUH TUHAN

Agama dan Tuhan telah ditunggangi kepentingan-kepentingan politik bukan di jaman sekarang saja. Sejak semula keyakinan-keyakinan kuno berdiri, dua hal ini telah menjadi premium pembakar semangat mesin-mesin politik para pemilik kepentingan dan penguasa. Rajutan-rajutan yang dihasilkan dalam kehidupan, ketika agama dan Tuhan diatas namakan demi kekuasaan politik adalah sebuah tekstur "Vivere Pericoloso", kekacauan-kekacauan baik dalam pemikiran terhadap keberadaan agama dan Tuhan itu sendiri atau tindakan-tindakan keji yang melahirkan kengerian, gelimang darah, sehingga agama dan Tuhan dihadirkan dalam bentuk raksasa rakus perenggut nilai-nilai kemanusiaan.

Kekacauan dalam pemikiran; memandang agama sebagai pemantik yang membakar semangat kengerian telah digambarkan dalam De Rerum Natura yang ditulis oleh Lucretius: " Di seluruh negeri (Imperium Romawi), terjadi kekacauan, yang disebabkan oleh beban berat agama." Sajak-sajak Lucretius begitu berasalan ketika agama telah menjelma menjadi raksasa dengan kepala beratapkan awan panas itu memburu siapa pun. Atas nama dewa-dewa yang bersemayam di dalam kuil-kuil dan colleseum ribuan manusia tercabik kehormatannya. Kekuasaan mengatasnamakan zat yang maha tertinggi ketika sebuah kebijakan dibebankan kepada rakyat karena para penguasa begitu yakin, hanya dengan menggunakan simbol-simbol Tuhanlah jelata akan patuh dan tunduk.

Bagi seorang Rasionalis seperti Lucretius berbeda dengan pemikiran mayoritas manusia, dia tidak memiliki anggapan apa yang ada dalam aturan-aturan agama itu sebagai sesuatu yang harus dipatuhi kecuali telah menuduh: malapetaka justru disebabkan oleh agama itu sendiri. Dia memilih untuk menghindari pemujaan terhadap dewa-dewa dan penyembahan terhadap arca-arca. Sebab, kesalehan sejati - menurutnya - tidak disebabkan saat manusia mengenakan jubah-jubah keagamaan atau menundukkan kepala di depan batu-batu pualam, melainkan ketika manusia mampu melahirkan sikap yang didasari oleh nurani dan pikiran jernih. Agama dan Tuhan tetap dituduh sebagai pemicu ketidak adilan dalam hidup.

Jerat polytheisme bahkan dualisme dalam meyakini eksistensi Tuhan memang telah menjadi landasan berpijak manusia di peradaban-peradaban kuno sebagai bentuk deviasi dari keyakinan mengagumi dan mengimani "satu Tuhan". Dalam polytheisme dan dualisme inilah penafsiran, pengartikulasian, dan tuduhan terhadap nilai-nilai keilahian berkecamuk. Satu sisi, Tuhan digambarkan sebagai zat yang maha sempurna dan baik namun pada beberapa sisi, Tuhan-tuhan lain dilukiskan sebagai zat pembawa petir, bencana, awan hitam dan badai, perenggut keperawanan manusia. Dalam hal ini, tuduhan dan tudingan dialamatkan oleh manusia kepada Tuhan. Saat Tuhan digambarkan dengan roman bengis manusia dituntut oleh para agamawan untuk memberikan penebusan dan penawar untuk membujuk agar kemurkaan Tuhan surut, dibangunlah kuil-kuil pemujaan, mezbah dan dolmen persembahan. Manusia menuduh Tuhan dalam pikirannya sendiri, seolah Tuhan membutuhkan seperti apa yang dibutuhkan oleh manusia.

Sangkaan-sangkaan dalam ajaran polytheisme secara permanen tetap diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Manusia masih sering menuduh Tuhan, Dia yang telah menurunkan beribu-ribu bencana di dunia. Sungguh tudingan yang tidak pantas disandarkan kepada Zat yang dipenuhi kasih sayang. Pada satu sisi, tidak sedikit manusia yang gemar mengatasnamakan Tuhan dalam tindakan-tindakan jahatnya, membunuh atasnama Tuhan, berpolitik atas nama Tuhan, hingga bernegara pun harus mengatasnamakan Tuhan. Manusia telah tampil menjadi mahluk paling manja seperti seorang anak yang membanggakan ayahnya di depan anak-anak lainnya. Pengatasnamaan Tuhan dalam tindakan dehumanisasi ini menjadi alasan agama dan Tuhan selalu menjadi tudingan dari para penganut rasionalisme.

Namun, jika saja kaum rasionalis itu mau memahami keyakinan secara benar, mempararelkan antara penguasaan logika dengan keyakinan akan mendapati, Tuhan tidak sekaku yang dipandang selama ini. Sebab, jika kognisi manusia masih menuduh Tuhan memiliki atribut-atribut duniawi maka semangat polytheisme : rupa Tuhan dalam berbagai sifat, antara kasih sayang dan kebengisan , akan tetap bertahan meskipun bingkai keyakinan manusia dipolesi oleh semangat Monotheisme-Abraham. Lalu, bagaimana bisa kita mengaku sebagai manusia monotheis (Tauhid) saat dualisme dalam memandang Tuhan masih tetap dipertahankan? []

KANG WARSA

Dikirim melalui BlackBerry®

Posting Komentar untuk "SELALU MENUDUH TUHAN"