Antara Kota Suci dan 'Taneuh Kabuyutan'

Tidak ada seorang pun yang tahu secara tepat dan benar, kenapa Bukit Sinai, Zhapon, Zion, Mekkah, Madinah, Jerussalem, Luxor, Merneptah, Karbala, Vatican, hingga Sungai Gangga dan Yamuna disebut tempat-tempat suci. Penyebutan sebuah tempat sebagai ‘tempat suci’ tidak terlepas dari sejarah panjang tempat tersebut, sejarah yang akrab bersentuhan antara nilai profane dengan transendental. Semangat ‘ilahiyah’ hadir di sana, semangat yang lahir dari awang-uwung pikiran manusia sendiri dalam bingkai asosiasi. Artinya, kelahiran kota atau tempat suci merupakan budaya yang dihasilkan oleh manusia, dalam tradisi mana pun.

Kesucian sebuah tempat dilatarbelakangi oleh sejarah kenabian dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang dekat dengan keyakinan atau agama. Erat hubungannya dengan toponimi atau asal-usul penamaan sebuah tempat. Jerussalem merupakan kota suci, ada tiga keyakinan dominan di kota ini; Islam, Kristen, dan Yahudi. Satu kota tiga iman, ketiga agama ini mengakui, Jerussalem sebagai kota suci, mereka tidak memerdulikan, meskipun dalam sejarah, pertumpahan darah menjadi catatan bagi kota ini, tetap saja karena di sanalah para nabi dilahirkan kesucian tetap disematkan terhadap Jerussalem. Bukan hanya disematkan, juga telah dijadikan rebutan, klaim kekuasaan atas nama agama terhadap kota ini menjadi bagian sejarah yang tidak terpisahkan.

Sebelum menjadi sebuah kota, terdapat oase dan lahan subur di Jerussalem dan daerah ini merupakan tempat asing bahkan sepi dari kehidupan. Bagi masyarakat gurun, kehadiran oase dan lahan subur merupakan hal mutlak agar kehidupan terus berjalan. Masyarakat gurun terdiri dari berbagai suku ini silih berganti mendiami wilayah subur di Jerussalem. Mereka saling rebut dan mengupayakan agar bisa mempertahankan daerah tersebut dari serbuan suku lain. Masyarakat gurun barbar meyakini, daerah ini menjadi subur dan dianugerahi oase oleh Dewa Air yang bersemayam di bukit Zhapon, Dia diberi nama Shaleem, secara harfiah diartikan ‘ pemilik keselamatan, perdamaian, dan keselamatan. Memang kontradiktif, untuk meraih tempat subur yang dianugerahkan oleh Shaleem sebagai pemilik perdamaian harus dilakukan dengan pertumpahan darah. Kerakusan manusia ini lah yang mengakibatkan, nama yang maha terpuji dijual atas nama penyerobotan lahan dan sumber daya alam.

Bangsa Filistin, sebuah suku bangsa berasal dari pulau Kreta mendiami wilayah ini pada tahun 1.500 SM. Berbeda dengan beberapa catatan sejarah, tradisi Ibrani menyebutkan, bangsa Filistin ini bukan berasal dari Kreta, melainkan keturunan dari Ham. Mereka menempati oase dan daerah subur sementara bangsa Yahudi menempati dataran tinggi Yudea pasca eksodus dari Mesir pada tahun 1.400 SM. Keyakinan dan ajaran antara suku Filistin dengan Yahudi memiliki kemiripan. Meskipun pada saat keluar dari Mesir, Musa telah menorehkan dan mewariskan Taurat/Torah (Hukum Tuhan), hubungan akrab antara peradaban Mesir dengan Yahudi selama 400 tahun memengaruhi sebagian besar masyarakat Yahudi dalam merefleksikan teologi yang mereka anut dalam kehidupan. Mereka menyebutkan, bukan hanya Jerussalem yang telah disematkan anugerah Tuhan di dalamnya, juga bukit Zhapon dan Zion sebagai tempat suci dimana Tuhan sering turun di bukit itu. Pertikaian antara bangsa Filistin dengan Yahudi ini telah berlangsung sejak lama, dari persoalan teologis ke ranah politis dan terus mengikuti siklus. Namun tetap saja, gelimang darah yang mengalir di parit-parit kota ini saat perang Salib tidak mengurungkan siapa pun untuk menyebut ‘suci’ kepada Jerussalem.

Sebelum menjadi sebuah kota, Mekkah merupakan daerah berbukit-bukit. Sebuah oase – saat ini kita menyebutnya sumur zamzam – menyembur di salah satu lembah di kaki perbukitan Haran. Para pengembara singgah di sana. Suku-suku barbar dari gurun pun lambat laun memenuhi daerah itu. Proyeksi berbagai keyakinan ditampilkan di sana, lambat laun, daerah ini menjadi lebih ramai dari beberapa abad sebelumnya. Koneksi profetik menjadi landasan dibukanya daerah berbukit-bukit ini menjadi sebuah kota. Sebagian besar suku bangsa di wilayah ini meyakini koneksi mereka kepada Ibrahim sebagai bapak bangsa seluruh ras dari Babilinio hingga Kanaan. Adalah wajar, jika masyarakat Bakkah meyakini hal ini karena mereka merupakan penduduk pendatang dari beberapa suku dari daerah-daerah yang telah dipengaruhi oleh tradisi Abrahamik. Meskipun, catatan sejarah menuliskan, Ibrahim sama sekali tidak pernah mengunjungi wilayah tandus bernama Haran, perjalanan Ibrahim hanya sampai di Kanaan saja. Namun tetap saja, masyarakat Bakkah mempercayai jika oase bernama zamzam ini erat kaitannya dengan kedatangan Ibrahim, Hajar, dan Ismael ke tempat itu. Hingga diutus Sang Nabi, Mekkah telah menjelma menjadi Kota Suci sampai sekarang.

Pandangan manusia dipengaruhi oleh dimana mereka tinggal. Berbeda dengan tradisi masyarakat gurun. Dalam tradisi Sunda, jarang sekali kita menemukan catatan sejarah penyebutan ‘suci’ kepada sebuah tempat. Kondisi alam di Tatar Sunda berbeda dengan wilayah gurun. Dalam memberikan toponimi, masyarakat Parahyangan, tempat bersemamnya para hyang lebih menekankan pada aspek geografis daripada teologis. Terhadap beberapa tempat yang dianggap keramat karena disanalah terdapat unsur kehidupan, masyarakat Sunda lebih memilih menyebutnya sebagai daerah larangan dan tanah kabuyutan. Mereka tidak mengharuskan daerah tersebut dijadikan tempat tinggal bahkan dilarang sama sekali untuk dijamah. Daerah larangan dan kabuyutan bukan untuk dijadikan lahan rebutan melainkan untuk dijaga bersama-sama bahkan dibiarkan sama sekali karena dari sanalah udara berhembus dan air mengalir yang bisa mencukupi daerah-daerah lain.

Masyarakat Sunda awal, sama sekali tidak pernah mengkoneksikan sikap dan perbuatan mereka kepada hal-hal yang bersifat teologis dan politis. Adanya alam , gunung, lembah, hutan, merupakan titipan dari Yang Maha Tunggal dan harus dijaga bersama. Adanya gunung tidak pernah disangkut-pautkan dengan hal-hal sakral dan mitos, bagi masyarakat Sunda awal, di tanah Parahyangan ini lah butiran permata dari Sawarga ditaburkan. Berbeda dengan masyarakat Sunda awal, masyarakat Sunda kontemporer –karena dipengaruhi oleh berbagai kepentingan baik teologis maupun politis- sering menghubungkan antara satu tempat dengan kehadiran Prabu Siliwangi. Kesadaran harus adanya seorang tokoh sentral ini – sebanding dengan bangsa Semit terhadap Ibrahim – mengakibatkan masyarakat Sunda kontemporer mengambil sikap demikian. Memang tidak salah, namun hal ini justru akan semakin mengaburkan sejarah utuh mengenai masyarakat Sunda itu sendiri dari awal hingga sekarang.Saat ini kita sering mendengar: tempat ini, gunung ini, bukit ini, hingga goa ini pernah didatangi oleh Prabu Siliwangi, padahal kita sama sekali tidak pernah tahu kapan hal itu terjadi?

Posting Komentar untuk "Antara Kota Suci dan 'Taneuh Kabuyutan'"