ANTARA satu aliran atau madzhab dengan madzhab lain itu keberadaannya saling memengaruhi, bahkan bisa jadi satu madzhab dilahirkan sebagai akibat dari transformasi madzhab sebelumnya, bisa disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap pandangan satu aliran atau sebaliknya, tuntutan perubahan, karena perkembangan zaman. Beberapa tahun setelah aliran Sinis lahir, Zeno yang digembleng oleh salah seorang pemikir dari aliran Sinis mengembangkan aliran stoistik, secara bahasa aliran ini berarti serambi. Penamaan stoa pada tahun 300 SM ini disebabkan para penganut ini sering mendiskusikan segala hal di serambi-serambi rumah atau istana.
Berbeda dengan aliran sinis seperti Diogenes yang telah benar-benar menganggap bahwa alam ini diciptakan oleh Dewa tetapi hanya sedikit saja yang dapat dinikmati oleh manusia. Artinya, tidak seluruh buah-buahan yang ada di atas meja makan itu bisa kita nikmati. Aliran Sinis ini tentu saja bersifat konservatif bahkan cenderung memberikan doktrin penderitaan merupakan cara mendapatkan kebahagiaan. Aliran stoa tidak se-ekstrim madzhab sinisme, aliran ini bersikap terbuka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan, stoistik tidak rigid ketika menghadapi persoalan baru, bahkan cenderung adaptif.
Dalam perkembangannya, aliran ini sejalan dengan pemikiran Herakleitos bahwa manusia berasal dari satu akal atau logos yang sama. Mereka memiliki anggapan manusia merupakan sebuah miniatur dari alam semesta. Manusia merupakan mikrokosmos atau jagat kecil dari makrokosmos atau jagat besar. Ketertataan semesta dapat dilihat dengan mengamati manusia itu sendiri dan kehidupannya. Pandangan ini sebetulnya telah lama berkembang di belahan bumi Timur, dan telah menjadi konsep ajaran Timur. Dalam tradisi Sunda, kita mengenal istilah jagad alit dan jagad gedé.
Pemikiran kaum stoik disebarkan oleh para pemeluknya dan benar-benar membawa pengaruh yang sangat besar di wilayah kekuasaan Romawi. Disebabkan oleh pandangannya terhadap manusia cenderung sangat besar, pada perkembangan selanjutnya, aliran ini telah melahirkan humanisme. Cicero yang hidup antara tahun 106-43 SM, mengembangkan ajaran humanisme, sebuah ajaran yang menempatkan individu sebagai fokus bidikannya. Seorang penganut aliran ini: Seneca mengatakan: bagi umat manusia, manusia itu suci. Setelah pengucapan tersebut, kalimat itu menjadi slogan utama para penganut humanisme hingga sekarang.
Aliran ini benar-benar meyakini kehidupan telah diatur oleh hukum universal, hukum alam yang tidak pernah berubah sejalan dengan berlalunya waktu dan tempat. Garam akan selalu asin di zaman dan tempat mana saja, sama halnya dengan manusia, dengan rasa dan penginderaan yang ada dalam diri manusia. Seorang manusia jika disakiti atau dihina dia akan merasakan sakit dan terhina , hukum ini berlaku untuk siapa saja, maka aturan yang lahir dari hukum-hukum seperti ini adalah: jangan pernah menyakiti atau menghina manusia lainnya.
Para penganut aliran ini berpihak kepada Socrates dan bertentangan dengan kaum Sophis yang tidak sungkan menjual filsafat serta ilmu pengetahuan untuk mendapatkan popularitas hingga uang recehan. Kesesuaian pemikiran mereka dengan Socrates adalah tentang kehidupan manusia telah lahir dan terus menerus terlahir sebagai bagian dari sistem di alam ini, tidak akan pernah melenceng, tetapi akan terus menerus mengikuti hukum alam. Tidak ada segala sesuatu yang terjadi secara kebetulan, segala sesuatu terjadi karena ada sebab. Manusia dituntut untuk terus belajar di dalam menerima takdirnya. Kebahagian bathin dapat dicapai jika manusia telah benar-benar menerima apa saja yang menimpa dirinya dengan tanpa gelisah.
Salah satu bentuk keterbukaan para penganut aliran ini yaitu mereka lebih menerima kebudayaan kontemporer. Perhatian mereka tertuju pada persahabatan, memikirkan dan memasuki ranah politik, dan mayoritas dari para penganut stoa merupakan para politisi aktif, misalnya Marcus Aurelius (121-180 M). Di zamannya, kaum stoic dapat dikatakan dianut oleh orang-orang kosmopolit.
Sezaman dengan lahirnya berbagai aliran hellenisme di Barat, pada tahun 483 SM, Siddharta Gautama meninggal dunia di belahan bumi Timur. Paska Gautama meninggal, ajaran-ajarannya tentang kasunyatan, samsara, dan karma ditentang oleh salah seorang bikkhu bernama Subbhadha, bikkhu tua itu mengatakan: janganlah bersedih, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari pertapa agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan dapat tidak berbuat apa pun yang tidak kita senangi. Bikkhu Subbhadha merupakan seorang penganut pragmatis, dia berpura-pura meninggalkan kesenangan dunia saat Gautama masih hidup, kemudian bersorak bahagia ketika Gautama meninggal.
Sikap Bikkhu Subbhadha ini melahirkan reaksi dari beberapa orang Bikkhu yang lurus. Dari sinilah, ajaran Gautama setelah diadakan rapat akbar atau konsili besar dinyatakan sebagai sebuah keyakinan atau agama Buddha, sebuah agama yang berarti akal pikiran, kejernihan logos, bahwa segala sesuatu benar-benar telah dikendalikan oleh satu akal pikiran yang sama. Di kemudian hari, Bikkhu tua yang tidak popular seperti Subbhadha itu melahirkan ajaran ortodoks dan puritan, siapa pun orang-orang atau kelompok yang berseberangan dengan penafsiran dirinya merupakan orang-orang yang tersesat dan harus diperangi.
Pergulatan pemikiran dalam agama Buddha tidak jauh berbeda dengan pergumulan antara kaum pushikoi dengan para sophis di Yunani, antara penganut konsepsi logos dengan mereka yang menuhankan kepentingan sesaat. Juga tidak berbeda jauh dengan perkembangan pemikiran dalam Islam antara kaum moderat yang tidak pernah mengkultuskan ajaran dalam bentuk ideologi dengan kelompok purifikasi Islam di mana ajaran Islam hanya dibatasi oleh ruang dan waktu namun mereka sering bersikap pragmatis ketika kekuasaan tepat berdiri di hadapan mereka.
Tidak mengherankan, prilaku dan tabiat kaum radikalis dari berbagai agama selalu menghindari sikap-sikap humanis apalagi memiliki belas kasihan kepada manusia lain yang tidak sehaluan dengannya. Mereka telah membangun sekte-sekte kekerasan, melakukan tindakan-tindakan seperti membunuh dan membantai manusia, jauh dari inti ajaran setiap agama baik agama Timur atau Barat. Jika di dalam agama Buddha dikenal reinkarnasi, maka dapatlah diperkirakan, Ashin Wirathu sebagai seorang bikkhu pragmatis yang membantai manusia demi alasan genosida merupakan musuh dari ajaran yang selama ini dianutnya. Dengan dalih dan alasan apa pun, Gautama tidak pernah membenarkan manusia membunuh mahluk hidup meskipun itu hanya seekor semut, apalagi menjadi konseptor pembantaian dengan alasan genosida. Dari jejak sejarah peradaban Timur dan rekam jejak Ashin Wirathu sendiri, bikkhu tersebut tidak jauh berbeda dengan bikkhu Subbhadha, seorang pembonceng ajaran Buddha sekaligus mencemooh Buddha sendiri.
Posting Komentar untuk "Wirathu Bikkhu Radikalis"
Sila kirim tanggapan atau saran...