GLOBALISASI BUKAN SEBUAH ANCAMAN

Bentuk kekhawatiran sebagian besar umat manusia terhadap dampak buruk dari globalisasi pada dasarnya tidak ditujukan terhadap akibat dan pengaruh besar dari globalisasi secara umum. Seorang penulis dari The Economist, Mickhelthwait dalam A Future Perfect menyebutkan: kekhawatiran yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi lebih mengarah kepada hilangnya sendi-sendi budaya dalam sebuah masyarakat.  Padahal ini akan berbanding terbalik jika kita melihat, globalisasi sendiri disebabkan oleh pengaruh besar budaya sebuah bangsa (Baca Western). Kesimpulan sederhana dari dua pandangan ini sama dengan teori antara masyarakat yang memengaruhi individu atau sebaliknya, namun pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan globalisasi.

 

Munculnya pandangan-pandangan; baik baru atau pun lama terhadap globalisasi ini tidak terjadi satu dekade ke belakang. Masyarakat, terutama sekelompok orang yang memegang kuat tradisi puritanisme memberikan anggapan secara ekstrim; globalisasi bukan sebagai akibat melainkan sebagai media yang mampu menghantam nilai-nilai sakral, budaya, dan tradisi. Pandangan ekstrim ini mengharuskan kaum puritan untuk mengindari apa pun yang bersinggungan dan dihasilkan oleh globalisasi. Meski pun pada praktiknya, jarang sekali manusia  bisa menghindari secara baik dari apa yang mereka larang tersebut. Beberapa koloni-koloni keagamaan di berbagai negara dunia ke-tiga seperti di negara-negara Amerika Selatan dan Asia Tenggara membuat benteng-benteng pertahanan, sebuah komunitas anti trans-government,membentuk pemukiman-pemukiman penyanjung nilai-nilai lama. Sikap ini untuk membendung generasi-generasi baru  dari serbuan bertubi-tubi globalisasi.

 

Jika merujuk kepada literatur-literatur gnostik dan agnosti, semua hampir sepakat, tidak ada yang perlu dipersalahkan dari globalisasi. Bahkan bisa dikatakan, hampir semua pemikiran, keyakinan, dan kepercayaan bergandengan baik dengan globalisasi. Keyakinan kristiani tidak akan menyebar pesat sejak konsili Nicea jika tidak disebarkan secara massiv oleh pemenrintahan Konstantin melalui jalur globalisasi; penggunaan aksara dan bahasa latin, penetapan trinitas sebagai iman kristiani, hingga ritual-ritual bentuk pertobatan dan pengampunan dosa disebarkan melalui jalur kekuasaan, semua harus mengglobal. Agama Islam pun memiliki karakteristik universal, dalil naqli Wa maa arsalnaaka illaa rohmatan lil ‘aalamiin  atau wa maa arsalnaaka illaa kaaffatan linnaasi  secara umum menyiratkan dasar-dasar dan fondasi keyakinan Tauhid, tradisi salaf, dan pemikiran umat terdahulu harus ditranformasikan secara global serta utuh (kaffah). Jadi jika melihat kepada  dua fase sejarah tersebut, memang tidak ada yang salah dengan globalisasi.

 

 Riuh gemuruh benturan peradaban dalam iklim globalisasi terjadi ketika budaya satu wilayah dibenturkan dengan sebuah keyakinan tanpa memandang nilai dan substansi yang terkandung di dalam budaya tersebut. Lebih jauh, Huntington dalam Clash Of Civilization menyebutkan benturan peradaban lebih dipersempit terjadi antara peradaban Barat dan Islam. Pemikiran ini seolah membawa pada sebuah kesimpulan ada perang besar baik pemikiran mau pun fisik antara Barat dan Islam. Ini terjadi karena satu hal; peradaban yang tetap bertahan melalui jalur politik hingga saat ini hanya ada dua: Barat penganut kapitalisme dan Islam. Tesis Huntington sendiri muncul pasca keruntuhan komunisme di negara-negara Eropa Timur. Secara tidak langsung, tesis ini mengarahkan pamikiran manusia; antara peradaban Barat dan Islam sama sekali tidak akan pernah akur, akan tetap bertolak-belakang jika hanya melihat pada akar historis politis dua peradaban besar ini.

 

Faktor sejarah peradaban yang ditranformasikan secara politis inilah penyebab saling curiga: globalisasi merupakan media dan cara Barat di dalam mengampanyekan nilai-nilai kapitalisme kepada dunia, harus dilawan. Tanpa melihat, ada satu hal penting dalam sejarah peradaban Barat dan Islam di masa silam. Bayangan sejarah yang tergambarkan hanya berkutat pada Perang Salib dan Perang Sabil di abad pertengahan, tanpa melihat unsur lain yang pernah memersatukan dua peradaban besar ini dalam sebuah lembaga keilmuan. Jika dianalisa lebih mendalam, perang Salib dan perang Sabil lebih dipengaruhi oleh muatan politis; sebab, jauh sebelum terjadinya perang Sabil, Jerussalem memang telah dihuni oleh tiga keyakinan berbeda. Dalam buku: Satu Kota Tiga Keyakinan, Karen Armstrong menyebut: Kota Yerussalem telah dihuni oleh penduduk yang memiliki tiga keyakinan, hidup rukun, tanpa benturan besar, hingga Perang Suci atas nama Tuhan ini memporak-porandakan Yerussalem sebagai Kota Suci namun parit dan sungai-sungainya dipenuhi gelinang darah. Tentu saja, politic-interest lah yang mengakibatkan bencana kemanusian di abad pertengahan ini.

 

Kesalahan dalam memandang sejarah ini telah menjadi bencana besar dari abad pertengahan hingga sekarang; mayoritas ummat manusia memandang segala hal apa pun akan disangkut pautkan dengan sejarah silam tanpa memandang dan menganalisa “syahwat politik” dalam peristiwa yang terjadi. Hingga, globalisasi sebagai hal yang dibendakan pun dianggap sebuah ancaman besar terhadap nilai-nilai budaya sebuah bangsa.

 

Ada itikad suci, bangsa harus diselamatkan dari ancaman budaya kotor (baca:Budaya Setan) sementara, hidup kita sama sekali tidak bisa lepas dari semangat globalisasi di era teknologi informasi ini. Mickhelthwait mengatakan bukan budaya yang menjadi ancaman besar terhadap ummat manusia di bumi ini kecuali kebijakan-kebijakan politik sebuah negara lah yang menjadi penyebab kekacauan dan munculnya benturan-benturan dalam kehidupan. Namun sampai saat ini, sebagian besar manusia memang masih memerlukan sebuah sarang untuk tetap bertahan  hidup, dia bernama politik. Hingga sampai saat ini, manusia masih membutuhkan globalisasi untuk mentranformasikan gagasan, ide, dan pemikiran-pemikirannya. Memerangi globalisasi akan membawa kita melangkah mundur beberapa ribu tahun ke belakang. [ ]

 

KANG WARSA | GURU PKN

Posting Komentar untuk "GLOBALISASI BUKAN SEBUAH ANCAMAN"