TURBULENSI

Kita sering banyak tidak berpikir jika di dalam ponsel pintar yang sering kita genggam terdapat kerumitan dan kekomplekan sistem di dalamnya. Pola pikir kita sering bersifat pragmatis, melihat ponsel atau komputer hanya pada tataran apa fungsi dan manfaat ponsel untuk kita. Menghidupkannya kemudian menyentuhnya dengan ujung telunjuk, membuka berbagai aplikasi salah satunya media-media sosial yang kita miliki.


Saya tidak mengajak kepada siapa pun dan menggiring agar kita membongkar ponsel pintar atau komputer kemudian mengamati satu persatu komponen-komponen yang terdapat di dalamnya. Yang harus kita renungkan, betapa di dalam rangkaian kerumitan dan kekomplekan komponen tersebut telah menghasilkan satu hal besar dalam kehidupan. Informasi dan pengetahuan tiba-tiba telah berada di dalam genggaman tangan kita. Bagi Toffler, ini merupakan hasil dari Gelombang ke-Tiga dalam sejarah peradaban manusia.


Keengganan kita dalam memikirkan hal-hal kongkrit yang ada di depan kita ini sebetulnya telah membawa petaka bagi kita dan bangsa ini. Kita menjadi kehilangan selera observasi dan merendahkan semangat penelitian terhadap apa yang kongkrit apalagi hal-hal abstrak. Ponsel pintar dan komputer hanya sebuah noktah dari keragaman kekomplekan dalam hidup ini. Barang- barang yang dihasilkan oleh manusia pada umumnya merupakan refleksi dari apa pun yang telah diciptakan oleh Alloh. Keengganan dalam memikirkan hal kecil ini telah membawa kita ke dalam rasa malas memikirkan hal lebih besar.

Ponsel pintar merupakan prototype bagaimana penciptaan dan sistem kerja alam ini. Bagaimana hebatnya teknologi Ilahiyyah dalam menyajikan sebuah kreasi dengan sangat rumit dan kompleks. Kerumitan sistem kerja alam ini telah membingungkan Darwin dalam mengungkap fakta kejadian alam semesta. Ledakan munculnya binatang dan tumbuhan di era Jurrasic menghasilkan satu garis yang hilang, dan ini telah membuat Darwin begitu tertekan, hingga The Origin of Species terselesaikan pun garis yang hilang ini tidak pernah ditemukan jawabannya. Pikiran manusia menemui kebuntuan.

Kebuntuan berpikir itu disebabkan oleh pola pikir kita yang sering masuk ke dalam pola linear. Kita sering menganggap, Alloh menciptakan alam dan kehidupan ini hanya satu arah saja. Padahal faktanya tidak demikian, dengan hukum kausalitas (sunnatulloh) sendiri pun, sifat linear dalam sistem terciptanya alam ini telah terbantahkan. Kerumitan dan kekomplekan tidak bersifat deterministik, polanya begitu non linear, acak, hanya saja dalam keacakan tersebut telah menghasilkan satu harmoni tak berkesudahan, rangkaian saling ketergantungan satu sama lain. Dengan pikiran seperti ini, kita akan bisa menjawab: apa pentingnya Alloh menciptakan semut, lalat, ulat, kupu-kupu, dan hal lain yang tampak kurang bermanfaat bagi manusia? 

Berapa milyar tahun alam ini telah terbentuk? Beberapa astronom menyebutkan, alam ini telah terbentuk sejak 189 milyar tahun. Kekomplekan di dalam sistem kerjanya semakin terlihat seiring berkembangnya pengetahuan manusia. Apa yang terjadi pada masa 4.000 tahun lalu akan kita anggap sebagai sejarah, kejadian di masa lalu, tidak ada sangkut pautnya dengan masa sekarang. Padahal, peristiwa kecil pada 5 juta tahun lalu sangat memberikan pengaruh kepada  kehidupan di masa sekarang.

Peristiwa 40 tahun lalu pun memiliki pengaruh besar bagi kehidupan kita saat ini. Sebagai contoh; jika Bung Karno dengan otoritasnya sebagai panglima tertinggi langsung mengangkat Ahmad Yani sebagai presiden dan Bung Karno mengundurkan diri, di masa sekarang kita tidak akan terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan politik karena orde baru, orde reformasi tidak akan pernah lahir. Lantas, apa benar peristiwa di masa 4.000 tahun lalu memengaruhi kehidupan sekarang. Jika saja Akhnatun tetap tinggal di Mesir dan bersikukuh mempertahankan monoteisme, di dunia ini tidak akan muncul agama-agama semit. Sebab, munculnya agama-agama Semit ini merupakan antitesis dari politeisme masa lalu.

Bukan hal besar seperti itu saja. Dengan pendekatan chaotic dan teori Chaos, satu kepakan sayap kupu-kupu kecil pada tahun 1800-an bisa mengakibatkan munculnya badai besar di masa kini. Sulit dicerna karena hal ini begitu undeterministik, tidak sederhana. Untuk membuatnya menjadi sederhana, kita harus mengurai satu persatu bagian dari kekomplekan tersebut agar mudah diteliti. Tentu saja itu sangat sulit bagi kita karena: jangankan memikirkan hal-hal besar, berbeda pilihan dalam pencapresan saja bangsa ini sibuknya bukan main.

Jika kita telah berpikir ke arah sana, maka kita tidak akan mudah marah ketika melihat perbedaan di antara kita. Dan Saya sangat yakin, pola pikiran seperti itu akan membawa siapapun untuk menjumpai Sang Maha Kreator alam ini, ALLOH. Percayalah, hal ini memang sangat berat.(*)

KANG WARSA

Posting Komentar untuk "TURBULENSI"