Armstrong dalam buku Masa Depan Tuhan menuliskan satu kalimat sederhana: Kita terlalu sering membahas Tuhan dengan pikiran dangkal. Maksud utama dari kalimat itu adalah pembahasan tentang Tuhan akan terus dilakukan oleh manusia, akan terjadi pengulangan, perdebatan, dan percekcokan. Fenomena ini telah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Hebatnya pembahasan ini bukan hanya terjadi dalam sejarah Barat dari sejak mula pencarian Tuhan hingga meninggalkannya kembali karena manusia telah merasa cukup sebagai manusia. Demikian juga dalam dunia Islam, ilmu Tauhid disebut ilmu kalam (perbincangan) salah satunya disebabkan oleh hal ini.
Perdebatan tentang Tuhan ini terjadi disebabkan oleh cara manusia yang sering berpikir dengan membatasi kemahakuasaan Tuhan oleh rasionalitasnya sendiri. Hal lain yang menjadi penyebab pengulangan wacana ini yaitu: proyeksi Tuhan yang sering dihadirkan dalam pikiran manusia, menyejajarkan apa yang berlaku bagi manusia tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dengan Tuhan sendiri. Pemberian atribusi-atribusi kemanusiaan kepada Tuhan-lah yang menyebabkan perdebatan panjang tentang-Nya.
Tampak berbeda dengan para nabi, filsuf, dan sufi-sufi terdahulu. Dalam mencerna keberadaan Tuhan, mereka memiliki pikiran sederhana: yakini saja Tuhan itu ada. Dalam kisah Nabi Musa dan Bani Israil, Musa telah mencapai konklusi tentang keyakinannya kepada Yang Tunggal, tidak terjangkau oleh rasio, jauh dari pikiran manusia. Bani Israil kemudian mendesak Musa untuk membuktikan jika Tuhan itu memang ada dan tentu saja karena pandangan bangsa Yahudi ini menitikberatkan pada hetnoteisme: maka Tuhan dihadirkan dan dipinta oleh mereka agar berpihak kepada kelompoknya saja.
Saat wabah melanda Mesir, Ramses II berkata kepada Musa, saudara angkatnya, "inikah hasil kerja Tuhanmu yang telah memorakporandakan negeriku?". Hal senada pernah diucapkan oleh Bani Israil sendiri ketika diperbudak oleh Firaun, mereka berkata: Dimana Tuhanmu saat ini ketika kaumnya sendiri ditindas oleh musuh-musuhnya. Muhammad SAW pun dicemooh oleh penduduk Mekah ketika anaknya bernama Ibrahim meninggal dengan perkataan: Kasihan sekali, Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya. Dalam beberapa kisah disebutkan, meskipun sebagai serang Nabi namun sifat-sifat dasar sebagai manusia, Muhammad SAW hampir terpengaruh oleh olok-olok seperti ini, selama beberapa bulan wahyu tidak turun juga. Ini memiliki kemiripan dengan Isa yang mengatakan: Eli.. Eli.. lamaa sabakhtani? Tuhanku.. Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkanku?
Dari belahan dunia kuno ini melahirkan pandangan Tuhan yang berpihak dan Tuhan yang memusuhi manusia lain sebagai ciptaannya. Dalam tradisi Biblikal malah disebutkan ketika Izebel istri Ahab, raja yang semula patuh kepada Elia atau Ilyas , berkata dengan lantang: Siapapun yang tidak meyakini Baal sebagai tuhan maka hunusan pedang menjadi temannya. Bagi Izebel, Baal, tuan orang Samaria itu merupakan tuhan yang sebenar-benarnya tuhan sementara Yahweh yang disembah oleh Bani Israil merupakan tuhan palsu. Di abad ke-8 SM ini, para nabi bukan hanya mengaku-ngaku merupakan pelayan Tuhan, bahkan bagi tuhan-tuhan yang diyakini oleh setiap suku pun memiliki nabi-nabinya tersendiri. Dalam satu kota bisa ditemui hingga 200 orang yang mengaku dirinya sebagai utusan dari tuhan-tuhan yang mereka yakini.
Pembahasan tentang Tuhan sering menemui benturan dengan hakikat Tuhan itu sendiri. Banyak lahir paradoks dan kontradiksi dimana-mana. Sebagai contoh: dalam Surat Al-Ikhlas telah diyakini: tidak ada satupun yang setara dengan-Nya. Hanya saja manusia bahkan diri kita sering jatuh ke dalam perangkap antrophomirfisme, memberikan atribusi mahluk kepada Tuhan, bisa jadi hal seperti ini dilakukan agar keberadaan Tuhan lebih bisa dijiwai dan lebih dekat dengan manusia. Meskipun ayat ke-4 dari Surat Al-Ikhlas ini begitu sederhana, jika Tuhan tidak setara dengan mahluk maka apa saja yang dimiliki oleh mahluk, dirasakan oleh mahluk, nihil dari Tuhan.
Ockham merupakan seorang penganut Kristen Ortodoks yang menjadi seorang deis, dia cukup meyakini Tuhan itu ada. Tanpa basa-basi dan menghubung-hubungkannya dengan tafsiran apapun yang dibuat oleh manusia. Bagi Ockham, Tuhan adalah, seperti dalam Inji;, Aku adalah Aku. Tuhan, sangat jauh dengan pikiran manusia tentang-Nya. Hanya saja, pemikiran Ockham seperti itu pun berkontradiksi dengan kemahakuasaan-Nya sendiri. Sangat paradoks ketika Tuhan Maha Kuasa lantas tetap dibatasi oleh deisme tentang ketidakterikatan Tuhan oleh persoalan-persoalan dunia ini.
Ada cuplikan menarik dalam film The Birth of Nation (2016), sebuah film yang mengisahkan upaya pembebasan perbudakan oleh Nat Turner di Amerika. Nat telah diramalkan oleh cenayang asal Afrika yang dijadikan budak di Amerika, kelak dia akan menjadi seorang pembebas dan itu merupakan takdir yang telah menetap dalam diri Nat. Dalam kehidupan sebagai budak, kusam, diperlakukan tidak manusiawi oleh warga kulit putih, Nat tumbuh menjadi seorang pendeta. Derita yang dialami oleh warga kulit hitam telah mengubah cara pandang Nat terhadap ayat-ayat dalam Bible. Bagi Nat, ayat-ayat dalam Bible tentang keharusan para budak taat dan patuh pada tuannya telah disalahgunakan oleh warga kulit putih untuk memperbudak warga kulit hitam.
Nat melakukan ceramah-ceramah sederhana tentang hal ini. Bagi Nat, ayat-ayat Tuhan yang diperjualbelikan tersebut telah merusak pesan penting dalam Bible tentang kasih. Dia termenung ketika istri Hark, saudaranya, sesama budak dipaksa untuk memuaskan birahi seorang kulit putih. Satu sisi, warga kulit putih menggunakan ayat-ayat dalam Bible tentang perbudakan, pada waktu yang bersamaan, Nat dan para budak kulit hitam pun menggunakan ayat-ayat dalam Bible untuk menghapus perbudakan. Hark bertanya kepada Nat saat kepedihan dialami olehnya: Dimanakah Tuhan saat ini? Dia membiarkan hambanya dipaksa meladeni nafsu bejat manusia serakah itu? Banyak sekali paradoks dan kontradiksi antara kenyataan yang dialami oleh warga kulit hitam dengan apa yang sering diceramahkan oleh Nat tentang Tuhan.
Leibniz sebenarnya telah menguraikan persoalan ini dengan mengatakan: Tuhan bukan tukang servis jam yang selalu harus turun tangan ketika ada kejadian-kejadian di dunia ini. Bagi seorang saintis dan kosmolog lainnya, kesempurnaan Tuhan itu hadir dalam sistem yang telah disematkan kepada alam ini dalam bentuk tetapan kosmik. Keberlangsungan kehidupan ini merupakan sistem sangat sempurna yang telah diciptakan-Nya, sehingga seorang Leibniz berani mengatakan: Tuhan bukan seorang tukang servis jam!
Berbeda dengan Newton, dalam Principia Matematica edisi ke-3, Newton kembali menghadirkan Tuhan dalam karyanya tersebut. Ada alasan, menghadirkan Tuhan dalam karya tersebut sekadar untuk menghibur temannya saja. Di kemudian, kehadiran Tuhan dalam buku ilmiah ini dicemooh oleh Leibniz dengan kata-kata: O, sangat kasihan sekali tuhannya tuan Newton ini, Dia harus selalu mengoreksi apa-apa yang ada di alam ini.
Ada lagi satu hal menarik, tentang kemahabesaran Tuhan. Sebuah pertanyaan mungkin akan mengusik diri kita: Apakah Tuhan dapat menciptakan sebuah batu yang besarnya lebih besar dari Tuhan sendiri? Jika pertanyaan ini dijawab dengan sederhana maka akan menimbulkan berbagai ketimpangan. Pertama, jika jawaban terhadap pertanyaan tadi adalah "dapat", maka akan ada mahluk yang besarnya melebihi Tuhan. Kedua, jika dijawab "tidak", justru akan menghilangkan kemahabesaran-Nya.
Penjabaran dari persoalan di atas adalah: pertanyaan tersebut berada pada ranah immanent bukan pada persoalan transenden. Berkutat pada dugaan besar yang bisa diukur oleh penginderaan manusia. Dengan bahasa sederhana, maka dapat disimpulkan: manusia terlalu sering memandang Tuhan dengan rasionalitasnya sendiri, hal inilah yang telah melahirkan paradoks disana-sini. Karena Tuhan merupakan hal yang transenden, maka Dia hanya akan mampu diserap oleh pendekatan transenden, bukan dengan kegaduhan berdebat dan mempersoalkannya dengan pikiran dangkal.
Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.
Posting Komentar untuk "Memperdebatkan Tuhan Dalam Ruang Immanent "
Sila kirim tanggapan atau saran...