Sandékala dan Ririwa

SANDÉKALA DAN RIRIWA DI MASYARAKAT SUNDA
Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah- Anggota PGRI Kota Sukabumi

Terdapat banyak sekali penamaan hantu di dalam kehidupan masyarakat, dari mulai hantu berukuran kerdil, pelontos, hingga hantu-hantu dengan ukuran tubuh tinggi melangit, berbadan besar, gempal, tentu dilengkapi dengan gigi taring yang cukup panjang. Serba menakutkan. Di masyarakat  Sunda sendiri banyak ditemui penamaan hantu dengan berbagai karakteristik dan sifat yang dimilikinya. Kunti merupakan sebutan bagi hantu perempuan berambut panjang, selalu mengenakan daster berwarna putih dan dilengkapi oleh punggung bolong dipenuhi oleh belatung. 

Di masyarakat yang hidup di lereng-lereng gunung seperti Cipeueut dan Bangbayang, mitologi tentang adanya Buta Héjo masih merupakan perbincangan hangat dan sering diucapkan oleh sebagian besar masyarakat. Untuk menakut-nakuti seorang anak bandel, masyarakat di kaki Gunung Arca masih sering mengungkapkan: " Jangan main ke gunung sebelah sana, nanti kamu bisa ditangkap oleh Buta Héjo." Di wilayah lain, sikap dan tabiat Buta Héjo ini identik dengan genderewo.

Pembahasaan berbagai jenis rupa dan nama hantu seperti di atas memang masih diyakini oleh masyarakat Sunda sampai sekarang. Di kampung saya pernah ada seseorang entah berkelakar atau memang apa adanya mengatakan:  pernah bertemu dengan Kunti, pernah mengejar Kunti. Masyarakat lain ada yang mengatakan dirinya pernah dicegat oleh Memedi di pemakaman umum. Ada lagi yang menyebutkan dirinya pernah bertemu dengan Buta Héjo di bawah pohon beringin besar. 

Obrolan di dalam kehidupan masyarakat mengenai persoalan hantu yaitu, semua jenis hantu juga memiliki rasa takut, tidak jauh berbeda dengan manusia. Para hantu itu takut oleh berbagai macam hal, misalnya: Kuntilanak itu takut oleh binatang seperti jengkerik dan takut juga oleh paku. Tuyul itu takut oleh bawang putih dan untuk menggagalkan misinya dalam mencuri uang, orang kampung biasa menggantungkan kepiting sawah tepat di pintu rumah. Kecuali itu, para Kyai pun tidak ketinggalan memberikan pandangan, semua hantu itu takut bukan oleh barang-barang tadi, melainkan oleh wafaq, kertas yang ditulisi oleh mantera-mantera susunan rajah huruf Arab. Penempelan wafaq di dalam rumah telah menjadi kebiasaan baru di masyarakat Sunda pada akhir dekade 90-an.

Berbagai cerita dan obrolan mengenai hantu, dari dulu hingga sekarang bisa dikatakan sangat popular. Bukan  dalam dongeng Sunda saja, juga telah dimasukkan ke dalam cerita audio-visual seperti ke dalam film. Malahan, hampir 80% film dalam negeri ini bergenre horror, cerita hantu. Bukan apa-apa, film-film bergenre horror yang selalu melibatkan hantu ini memang bisa membuat jantung penonton kembang-kempis, mengoyak dan mengecoh emosi para penonton.

Selain nama-nama tersebut di atas, di masyarakat Sunda sendiri telah sangat popular dua nama hantu: Sandékala dan Ririwa. Sandékala merupakan hantu yang tidak jauh berbeda dengan kunti atau kelongwewe. Hantu jenis ini memiliki kebiasaaan mencuri dan menyembunyikan anak-anak ke dalam semak belukar. Sandékala biasa keluar ketika pergantian waktu dari siang ke malam, dalam term Kasundaan disebut Wanci Harieum Beungeut. Para orangtua di perkampungan sering membahasakan: Jangan keluar rumah, nanti kamu dicuri oleh Sandékala, sebuah ungkapan sederhana namun efektif agar anak mereka tidak ngelaba di waktu magrib.

Sementara itu, hantu bernama Ririwa  lahir sebagai akibat adanya arwah penasaran. Seseorang meninggal dunia dan tidak sempurna. Dalam masyarakat Sunda, keyakinan tentang tidak diterimanya arwah orang meninggal oleh langit dan bumi telah berkembang sebelum Islam menyebar dan berkembang di Tatar Sunda. Arwah-arwah penasaran akan terus bergentayangan, menakut-nakuti manusia, agar terjerumus ke dalam perbuatan seperti yang mereka lakukan ketika masih hidup. Arwah-arwah penasaran itu "marakayangan" di antara langit dan bumi. Adanya mitologi seperti ini telah menghasilkan beberapa keyakinan dan pitutur dalam tradisi Sunda, seperti beberapa nasihat yang berbunyi: "Sing alus kalakuan dina hirup, bisi dina waktuna maot engké jadi ririwa!".

Apakah cerita tentang Sandékala, Ririwa, dan hantu lainnya hanya sekadar dongeng dan  mitos saja  atau memang merupakan kejadian yang benar-benar dialami oleh masyarakat dan ada dalam kehidupan ini? Mitologi keberadaan hantu-hantu bukan hanya ada dan dikenal di masyarakat Sunda saja. Cerita tentang makhluk jahat seperti hantu ini bahkan ada dalam hampir setiap kitab suci agama besar. Dalam term Islam, hantu-hantu diberi nama Iblis dan Setan.

Untuk menjelaskan persoalan ini, tentu saja harus menggunakan analogi atau perbandingan yang tepat. Di zaman modern ini, cerita tentang hantu tentu saja telah dianggap sebagai dongeng usang. Manusia modern lebih memercayai virus komputer dan smart-phone daripada percaya kepada hantu. Padahal jika ditelaah secara cermat, virus-virus komputer dan smart-phone ini tidak jauh berbeda dengan hantu dalam sistem kerjanya. Komputer dan smart-phone merupakan hard-ware atau piranti keras diharuskan memiliki software atau piranti lunak untuk mendukung kinerja komputer serta smart-phone dengan maksimal. Ketika ada program yang tidak sejalan dengan piranti keras, secara tomatis aplikasi atau program tersebut disebut virus, membahayakan, program yang dapat merusak sistem.

Hantu ibarat virus. Piranti keras di alam semesta ini antara lain planet-planet, bintang-gemintang, satelit-satelit, asteroid, dan benda angkasa lainnya. Software di alam semesta ini terdiri dari hukum-hukum alam yang telah disematkan oleh Alloh, manusia sendiri sebenarnya merupakan software dalam kehidupan. Manusialah yang mampu mengoperasikan kehidupan, sistem yang ada dalam diri manusia ini yang akan membaca dan menerjemahkan bagaimana cara mengelola dan menjalankan kehidupan. Sebagai operating system kehidupan, dilengkapi juga dengan berbagai software lain seperti: agama, keyakinan, dan semangat hidup.

Manusia sebagai sebuah software (Rohani) akan mewujud menjadi hantu (virus) ketika di dalam dirinya sudah tidak dapat memberi manfaat kepada siapapun terutama dalam kehidupan. Ketika dia hidup juga akan disebut sebagai sampah masyarakat. Bahkan ketika dia meninggal pun, nafs-nya akan membentuk program-program jahat, dia akan menjadi virus semesta.

Memang benar, hampir setiap agama dan keyakinan memiliki pandangan serupa, ketika manusia meninggal sudah dipastikan telah putus dengan persoalan duniawi. Semua akan kembali kepada Alloh. Namun tentu saja, Alloh sebagai pencipta kehidupan ini telah menciptakan sistem supaya kehidupan tidak berlangsung secara acak dan tidak teratur, sekehendak pikiran mahkluk sendiri. Sebagai contoh: kita memiliki keyakinan, manusia meninggal, dia akan kembali kepada Tuhan. Tetapi kita pun harus memiliki rasa dan sikap merasa, akankah kita kembali kepada Alloh Yang Maha Suci ketika diri kita masih kotor dan dilumuri oleh dosa? Sangat mustahil, karena sistem yang telah diciptakan oleh Alloh telah mengaturnya demikian, minyak sangat sulit menyatu dengan air. Siksaaan yang sebenarnya bukan dilakukan oleh Alloh sendiri kecuali melalui sistem yang telah diciptakannya agar keadilan dan kemahakasihan-Nya tetap terjaga.

Sistem yang berjalan secara autonom, ketika salah, diri masih dipenuhi oleh kotoran, maka sudah dipastikan tidak akan dapat kembali kepada Alloh. Keadilan-Nya adalah memberikan kesempatan kepada manusia, bukannya berpikir untuk membersihkan diri dalam kehidupan, malah sebaliknya disia-siakan, sudah jelas manusia seperti ini akan berbah menjadi virus, sebuah program jahat yang merusak alam serta kehidupan.

Leluhur kita dalam mengeluarkan pandangan seperti adanya Sandékala, Ririwa, dan hantu lainnya tidak didasari oleh sekehendak diri. Semua dihasilkan melalui proses permenungan dan hasil dari renungan dalam kehidupan. Berlangsung telah sekian lama, bermilyar-milyar tahun lamanya. Hanya saja, pandangan dan pikiran leluhur kita sering kita sepelekan, padahal jika direnungkan dengan mendalam akan membawa kita pada sebuah kesimpulan, leluhur kita memang dipenuhi oleh keilmuan yang tinggi. 

Pandangan-pandangan mereka sering disembuyikan dalam siloka-siloka, agar kita sebagai anak-cucu mereka tidak lahir sebagai manusia-manusia auto-teks dan tekstual. Manusia fanatik yang menafsirkan kehidupan berdasarkan teks yang ada bukan didasari oleh kejadian yang sedang berlangsung.

Posting Komentar untuk "Sandékala dan Ririwa"