WASHAYA SITTAH, ENAM WASIAT
KYAI
Oleh:
Kang Warsa
Sejak
era wali songo hingga terbentuknya jaringan kaum intelektual pesantren, para
ulama dan kyai selalu menggunakan muatan-muatan kearifan lokal yang telah
menjadi basis nilai kehidupan masyarakat Nusantara di dalam mendakwahkan Islam.
Melalui pendekatan inilah Islam hadir dengan wajah ramah, santun, dan mudah
diterima oleh masyarakat. Keramahan Islam tercermin melalui sikap-sikap dalam
hidup. Nawawi al-Bantani misalnya, menerima “ciuman tangan” dari hampir seluruh
masyarakat Jawa yang tinggal di Mekkah, bukan sebagai pemisah antara manusia
yang memiliki kelebihan dengan manusia lemah, kecuali sebagai ekspresi
penghormatan ilmu dan moral, bukan secara pribadi.
Selama
rentang waktu tahun 1446 -1471 M terjadi koordinasi yang sinergis antara
gerakan-gerakan dakwah penyebar Islam di Jawa Barat dengan gerakan dakwah yang
dilakukan oleh Wali Songo, sebuah gerakan dakwah yang disampaikan melalui
gerakan sosial-kultural-religius melalui asimilasi dan sinkretisasi dengan adat
dan budaya yang sudah ada di Nusantara. Gerakan Wali Songo ini merujuk pada
gerakan dakwah yang dilakukan dengan cara-cara damai. Dengan kata lain, Islam
disampaikan dengan bahasan sederhana, ajarannya dibumikan hingga meresap ke
dalam kehidupan masyarakat Nusantara yang telah terbiasa dengan adat serta
tradisi. Gerakan dakwah Wali Songo sama sekali tidak menghancurkan apa yang
telah ada. Demi alasan tersebut, dalam Preaching
of Islam, Arnold W Thomas menegaskan gerakan dakwah secara damai dalam penyebaran
Islam ini lebih banyak menghasilkan daripada hasil usaha para pemimpin negara.
Jalan
yang telah ditempuh, usaha, dan strategi dakwah yang telah dilakukan oleh Wali
Sngo ini berbanding lurus dengan usaha-usaha Islamiasi yang terjadi di setiap
pelosok dan daerah. Apa yang terjadi selama kurun waktu tiga abad di Nusantara
diikuti oleh para penyebar Islam di Sukabumi. Sebagai cntoh, Kearifan lokal
diadaptasi oleh berbagai pondok pesantren di Sukabumi dalam penyebaran Islam
dalam kurun waktu abad ke 17- 20. Tidak berbeda dengan kondisi di Nusantara
pada umumnya, dalam proses awal penyebaran Islam di Sukabumi pun ada beberapa
ciri diantaranya: Pembentukan masyarakat Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat
lapisan bawah, kemudian berpengaruh ke kaum birokrat, Gerakan dakwah, Pendidikan
pesantren (ngasu ilmu/perigi/sumur), melalui lembaga/sistem pendidikan Pondok
Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid; dan Penggunaan
berbagai instrumen kearifan lokal yang telah lama berkembang di masyarakat.
Sebelum
pesantren-pesantren berdiri di Sukabumi, proses penyebaran dan perkembangan
Islam memang telah berjalan cepat, sejak daerah ini masih bernama Kepatihan
Cikole di bawah kepemimpinan Wira Tanu Datar VI, masyarakat telah memilih Islam
sebagai agama dan keyakinan mereka. Dalam kurun waktu tahun 1820-1900, proses
Islamisasi berjalan cepat, dilakukan oleh para ulama lulusan pesantren dari
daerah Banten. Hubungan yang erat antara metode dakwah yang dilakukan oleh
penyebar-penyebar Islam di daerah lain dengan Sukabumi adalah adanya kesamaan
corak Islam yang berkembang di masyarakat sendiri, adanya kesamaan madzhab fiqh
yang digunakan dalam tata cara peribadatan, adanya budaya dan tradisi yang sama
diselenggarakan seperti acara slametan atau salametan
(B.Sunda).
Setelah
terjadinya proses penyebaran Islam di Sukabumi yang dilakukan oleh para alumni
pesantren dari Banten, sejak saat itu juga bediri beberapa pesantren hampir di
setiap tempat dan perkampungan. KH. Muhammad Masthuro yang dilahirkan tahun 1901
M, pada dekade kedua abad ke-20 mendirikan pondok pesantren al-Masthuriyah di
kampung Tipar, Cisaat, tepat nya pada tahun 1920 M. Selama kurun itu,
perkembangan Islam semakin kokoh di Sukabumi meskipun masyarakat baru sebatas
menganut Islam secara normatif hingga
beliau wafat pada tahun 1968.
KH.
Muhammad Masthuro menggunakan pendekatan sosial-kultural-religius serta
kearifan lokal dalam bentuk pitutur, wasiat, atau pikukuh kepada keluarga,
santri, dan masyarakat di Sukabumi. Pikukuh atau wasiat merupakan salah satu
kearifan lokal yang telah lama mengakar di masyarakat Nusantara. Pikukuh atau
wasiat ini telah diyakini sebagai hal sakral dan harus diikuti oleh masyarakat
karena tidak diucapkan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang
dapat menyampaikan wasiat kepada khalayak dan pada waktu tertentu.
Penggunaan
kata pikukuh sebagai pembahasaan kembali dari kata wasiat merupakan bentuk
vernakulisasi kata dan konsep berbahasa Arab ke dalam bahasa lokal, yaitu
Sunda. Sebelum Islam masuk ke Nusantara, khusunya Sukabumi. Sebagai salah satu
daerah yang terletak di Tatar Pasundan dimana aturan-aturan tidak tertulis
telah menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakat ditegaskan oleh adanya
pikukuh yang dituturkan oleh para pupuhu kepada anggota masyarakatnya. Secara
etimologis, pikukuh memiliki arti aturan-aturan yang disampaikan secara
turun-temurun dalam bentuk penuturan. Pikukuh berlaku bagi masyarakat Sunda
sebagai penjabaran dari tugas manusia di alam semesta.
Washaya Sittah
atau enam pikukuh atau wasiat KH Muhammad Masthuro memperlihatkan kearifan
lokal namun tidak lepas dari nilai Islam yang dianutnya. yaitu:
“ Kudu ngahiji dina
ngamajukeun pasantrén, madrasah, ulah pagirang-girang tampian. Ulah hasud ka
batur. Kudu nutupan kaaéban batur. Kudu silih pikanyaah. Kudu boga karep
saréréa hayang méré. Kudu mapay thorékat anu geus dijalankeun ku Abah.
(Harus bersatu dalam memajukan pesantren, madrasah, jangan berebut menjadi
pemimpin. Jangan dengki kepada orang lain. Harus menutupi kesalahan orang lain.
Harus saling menyayangi. Harus memiliki tekad memberi kepada sesama. Harus
mengikuti tharekat yang telah dilalui oleh Abah)”
Keenam
wasiat di atas jika ditelaah memberikan gambaran yang jelas kedekatan KH.
Muhammad Masthuro dengan kasundaan dan ajaran tasawuf. Kasundaan merupakan
tradisi yang telah lama berkembang di masyarakat Sunda dan ajaran tasawuf yang
kemudian hampir identik dengan tarekat memang telah menjadi ciri khas
pesantren. Dua unsur antara kearifan lokal dengan ajaran yang berasal dari Islam
ini tampak dalam Washaya Sittah. Isi
dari Washaya Sittah merupakan
elaborasi dari pikukuh karuhun Sunda
seperti; pitutur pertama merupakan elaborasi dari Paheuyeuk-heuyeuk
leungeun, paantay-antay tanga. Wasiat kedua dan selanjutnya merupakan
elaborasi dari pikukuh: akur salembur,
akur jeung batur, soméah ka sémah, silih asah, silih asih, jeung silih asuh.
Peran
KH. Muhammad Masthuro dalam pengembangan Islam melalui pendekatan kearifan
lokal tersebut telah dilakukan sejak beliau memimpin Pondok Pesantren
al-Masthuriyah pada tahun 1920. Hal ini dilakukan disebabkan oleh adanya
berbagai tradisi atau budaya yang berkembang di masyarakat namun bertolak
belakang dengan ajaran Islam. Sejak tahun 1900, di daerah Tipar, Cisaat telah
berkembang aliran Hakok yang dianut
oleh sebagian masyarakat. Aliran ini mengajarkan dzikir Mikung kepada para pengikutnya. Ritual ini dilakukan sebagaimana
dzikir yang dilakukan oleh umat Islam pada umumnya, kemudian berubah menjadi
dzikir yang dilaksanakan dengan telanjang bulat, berbaur antara lelaki dan
perempuan. Dalam sistem sosial, penganut ajaran ini memadukan antara ajaran
Islam dengan Sunda Wiwitan.
Sebagai
seorang figur dan tokoh masyarakat, KH. Muhammad Masthuro tidak pernah
melepaskan tanggung jawabnya. Beliau memahami dengan benar keberadaan ulama
merupakan cerminan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Maka, dalam kehidupannya
pun, KH. Muhammad Masthuro memberikan kesan dan pesan, jika ulama sudah tidak
bisa dijadikan cermin atau contoh bagi masyarakat, sudah dapat dipastikan
masyarakat tidak akan pernah mengikuti apalagi melaksanakan pikukuh atau wasiat
yang disampaikan oleh ulama tersebut.
Posting Komentar untuk "Washaya Sittah, Enam Wasiat Kyai"
Sila kirim tanggapan atau saran...