Mustafa dan Pengajian

Setiap orang tua sudah tentu akan memberikan nama terbaik dan pilihan untuk anak-anaknya. Di perkampungan –meskipun orang telah mengenal benar bahwa zaman sekarang merupakan zaman internet- beberapa orang tua masih mempercayai bahwa pemberian nama anak juga harus melibatkan paririmbon, falakiyah, dan hitungan yang tepat. Tujuannya sudah jelas, agar di kemudian hari anak-anaknya memiliki karakter dan sikap yang sesuai dengan arti namanya.

Bagi orang Islam, pemberian nama tentu saja merupakan hal yang telah ditetapkan sebagai sunnah, para kyai di masjid-mesjid sering membahas: memberikan nama terbaik bagi seorang anak merupakan hal yang sangat dianjurkan, bisa dikategorikan sunnah, jalan yang pernah ditempuh oleh Rosulullah.

Apa arti sebuah nama jika dengan nama tersebut seseorang sama sekali tidak dapat memanfaatkan setiap sisi-sisi kehidupan? Beberapa abad lalu, seorang sastrawan Inggris bernama Shakespeare pernah bertanya: What is a name? Padahal pertanyaan tersebut tidak sampai pada kalimat Tanya itu, kelanjutan dari pertanyaan retoris seperti itu jarang diucapkan.

Pasangan suami dan istri memberi nama Mustafa kepada anaknya, secara harfiah, kata Mustafa memiliki arti Lelaki Pilihan, lalaki pinilih, di zaman sekarang bisa diberi makna secara kontekstual Sang Juara. Penamaan Mustafa kepada seorang anak tentu saja dengan melalui sebuah permenungan atau paling tidak bertanya terlebih dahulu kepada kyai di kampung: Ustadz atau yai, apa arti kata Mustafa yang selalu dibaca dalam Barjanzi dan solawat itu? Ustadz atau kyai sudah tentu dapat memaparkannya tanpa terlebih dahulu membuka kamus arti nama apalagi membuka website khusus yang menguraikan arti nama-nama bayi dari berbagai bahasa. Mustafa artinya seorang pilihan.

Penggunaan kata Mustafa tidak hanya dijadikan sebutan untuk Rosulullah saja, nama tersebut kemudian disematkan juga kepada orang-orang setelahnya. Di Turki, Mustafa Kemal Pasha sebagai bapak sekulerisme Turki diberi awalan Mustafa, bagi orang-orang Turki pasca keruntuhan Dinasti Ottoman atau Utsmaniyah sudah tentu, Mustafa Kemala Pasha At-taturk dielu-elukan sebagai lelaki pilihan yang telah membawa Turki ke alam modern. Meskipun pada sisi lain, Mustafa Kemal Pasha dianggap sebagai pembawa bencana bagi Turki yang menjadikan negara tersebut dijuluki ayam kalkun Eropa atau negara sakit di Eropa.

Tahun 70-an, kelompok Bank dari Inggris, Queen menciptakan lagu dengan judul Mustafa Ibrahim, beberapa tahun lalu, dinyanyikan ulang oleh Dewa dengan judul yang sama. Mendengar nama Mustafa Ibrahim dikumandangkan dalam lagu Queen tentu saja sebagian orang terutama umat Islam merasa terhibur dan memilik anggapan Fredy Mercury memiliki kedekatan dengan Islam. Sementara, Fredy Mercury sendiri jika dirunut garis keturunannya mayoritas menganut agama kuno Persia, Majusi.

Sebagai seorang pengajar, saya selalu memerhatikan nama-nama para siswa yang tertulis di dalam absensi. Siswa kelas tujuh, duduk di bangku paling belakang bernama Mustafa. Melihat siswa itu saya langsung tersenyum kemudian mempersilakan maju ke depan. Kemudian saya menulis beberapa kata dalam aksara Arab.

Mustafa hanya diam, kemudian sambil malu membaca kata perkata dengan terbata-bata. Menurut penuturannya dia masih mengaji di salah seorang ustadz. Tetapi beberapa temannya langsung berteriak: Dia ngaji di warnet, Pa!

Bukan hanya Mustafa, setiap siswa diberi kesempatan membaca aksara Arab oleh saya, hasilnya? Hampir 70% siswa dari 10 siswa masih terbata-bata dalam membaca aksara Arab. Fenomena ini merupakan anomaly, hampir setiap guru PAI sering mengeluhkan jika rata-rata siswa di setiap sekolah masih belum dapat membaca al-Quran, jika dapat juga masih dieja secara terbata-bata.

Kepada Mustafa dan kawan-kawannya saya memberikan saran, mengaji lagi dengan serius. Di setiap kampung telah ditempatkan para kyai dan ustadz untuk mendidik orang-orang, khususnya mengajar masyarakat bagaimana cara membaca al-Quran yang benar. Para Pendeta saja benar-benar serius mempelajari al-Quran dan literature berbahasa Arab.

Hal tersebut sering sekali dijadikan alasan oleh siapa saja dan selalu dikaitkan dengan upaya-upaya serta konspirasi orang lain untuk menjauhkan umat Islam dari Kitabnya. Alasan ini sebetulnya merupakan klise yang sangat dibesar-besarkan. Sudah seharusnya, kesalahan terbesar justru dialamatkan kepada setiap orang tua dan diri kita masing-masing. Google dan Facebook saja telah memberikan ruang yang luas bagi setiap orang untuk dapat mengakses berbagai bahasa, haruskah kita tetap berasumsi bahwa “musuh-musuh” Islam yang selalu menjauhkan umat Islam dari kitab dan kebudayaannya? Tidak ada musuh terbesar kecuali kebodohan dan sikap tidak ingin tahu, itu saja.

KANG WARSA
GURU MTs RIYADLUL JANNAH – ANGGOTA PGRI KOTA SUKABUMI

Posting Komentar untuk "Mustafa dan Pengajian"