Memperbincangkan Simbol di Kota Sukabumi





Bagi sebagian orang, simbol masih dipandang identic atau serupa dengan apa yang disimbolkannya. Padahal pandangan seperti ini tidak selalu benar, karena antara simbol dengan apa yang disimbolkannya harus tidak selalu dan musykil benar-benar sama, serupa, dan mirip. Misalnya, maskulinitas diberi simbol oleh logo cincin berpanah, sudah tentu simbol ini tidak serupa atau mirip dengan perawakan lelaki berpostur maskulin atau jantan.

Bahkan simbol-simbol dalam semua agama yang merujuk kepada Tuhan, sudah tentu sangat berbeda dengan eksistensi Tuhan yang sangat Maha Berbeda dengan makhluk-Nya. Di masa lalu, bangsa Mesir kuno menyimbolkan Amun Ra dengan matahari berhiaskan garis-garis pancarnya, ini tidak berarti bahwa Amun Ra benar-benar serupa dengan matahari.

Kenapa simbol-simbol menyertai kehidupan manusia? Manusia merupakan makhluk yang dapat dipandang dari berbagai dimensi, tidak hanya dari satu titik bahwa dirinya hanya merupakan rangkaian tulang belakang, daging, dan kulit pembungkus. Sejak fajar peradaban terbit, manusia sudah menjadi makhluk yang pandai menstimulasi keinginan, hasrat, dan kehendaknya, ia juga telah mampu merespon apa yang ada di sekitarnya.

Menyematkan simbol terhadap satu hal benar-benar dibutuhkan oleh manusia agar mereka mampu mencerna dengan cepat informasi penting yang ada dalam simbol tersebut. Walakin di sisi lain, simbolisasi juga diperlukan agar informasi mampu menyembunyikan “apa-apa yang disimbolkannya” sehingga keberadaannya menjadi lebih kompleks dan sulit dicerna. Dengan kata lain, simbol dimaksudkan untuk memadatkan informasi yang sangat kompleks, namun informasi detail tentang “apa yang disimbolkannya” dapat dicerna melalui langkah-langkah, pendekatan, pelekatan, dan pemahaman yang dari berbagai sudut.

Tiga tahun lalu, saya bersama beberapa teman mulai asyik memperbincangkan simbol yang tepat untuk Kota Sukabumi. Pertanyaan mendasar dari wacana seputar simbolisasi Kota Sukabumi adalah: Apa simbol untuk Kota Sukabumi? Seberapa pentingkah Kota Sukabumi yang ada di ranah besar kemudian dipadatkan ke dalam sebuah simbol?

Dua pertanyaan di atas sudah tentu masih belum memiliki jawaban hasil dari kesepakatan bersama antara pemerintah dan masyarakat Kota Sukabumi. Simbol-simbol memang telah disodorkan oleh banyak komunitas dari berbagai perspektif dan spectrum yang berbeda-beda. Penjenamaan atau branding Kota Sukabumi juga telah banyak dibahas. Pemerintah Kota Sukabumi juga telah menyelenggarakan perlombaan mendesain wajah kota dengan syarat khusus menggali simbol Kota Sukabumi yang sudah familiar di masyarakat.

Sebagai sebuah kota dengan kompleksitas pikiran, ide, dan gagasan, memang sulit bagi siapapun untuk membatasi dengan hanya sebuah simbol. Hal paling relevan yang harus diterima oleh pemerintah dan warga Kota Sukabumi yaitu menampilkan simbol-simbol berdasarkan kewilayahan (misalnya: kelurahan dan kecamatan), kekuatan sosial (misalnya; komunitas), dan kekuatan SDA (misalnya; potensi alam).

Hal tersebut serupa dengan pembuatan relief pada candi dan simbol-simbol yang dipahat oleh orang-orang Mesir Kuno pada dinding piramida. Kota Sukabumi merupakan bagian dari komunitas Sunda, sudah tentu harus menempatkan simbol kasundaan pada piramida puncak kehidupan, misalnya kujang atau simbol lain yang merujuk kepada kasundaan. Menyematkan simbol-simbol ini harus berpangkal dari edukasi bagaimana orang-orang Kota Sukabumi memiliki kemampuan dalam menerjemahkan simbol yang mereka lihat.

Menampilkan berbagai simbol di Kota Sukabumi memang tidak hanya diukur dari penting dan tidaknya. Simbol tidak dapat dipisahkan dengan estetika dan etika. Peradaban terbesar hingga paling kecil sekalipun telah berurusan dengan simbol. Aksara yang kita gunakan juga bermula dari modifikasi simbol tentang kekuatan suprarasional dan makhluk-makhluk yang ada di ala mini. Orang-orang Yunani menyimbolkan kekuatan awal dengan Alpha, karena simbolisasi ini berawal dari Bangsa Fenisia dan Etruska, derivasi darinya menjadi Alif (Arab), Alef (Hebrew), kemudian disederhanakan menjadi abjad urutan pertama berbentuk huruf “A”. Sebutan yang berbeda ini tetap merujuk pada satu hal, primus atau hal yang utama dan pertama.

Kreativitas warga Kota Sukabumi dari setiap wilayah menjadi salah satu syarat mutlak kemunculan simbol-simbol tersebut. Penting diingat, memunculkan simbol ini sebenarnya harus relevan dengan kondisi sosial kultural setempat. Beberapa desa di negara Jepang dapat menjadi contoh bagi kita dalam menemukan jati diri wilayah. Orang-orang desa di negara Jepang mampu membangun kebersamaan dengan menyajikan sosial kultural wilayahnya, tanpa perlu direkayasa, simbol desa-desa di Jepang pun bermunculan.

Sampai saat ini, orang-orang Jepang masih meyakini bahwa leluhur mereka Suku Ainu merupakan keturunan langsung dewa Matahari, dari sana muncul pikiran, hanya dengan hidup selaras dengan alam lah orang-orang Jepang akan mampu menyelami samudera kehidupan. Sikap ini semestinya diperlihatkan oleh orang-orang yang tinggal di khatulistiwa karena masyarakat equator telah menempati wilayah hasil dari kolaborasi seluruh unsur alam. Faktanya, kita sudah jauh dari pandangan seperti ini.

Hidup selaras dengan alam –jika dilihat rekam jejaknya- merupakan semangat yang telah membersamai orang-orang Timur dan Nusantara. Pada perkembangan berikutnya, pandangan ini dicetuskan oleh seorang Seneca, filsuf aliran Stoisisme (Stoa) dari Romawi. Hanya dengan kembali hidup selaras dengan alam lah simbol-simbol akan muncul dari ide dan gagasan warga. Ide yang benar-benar memiliki kekhasan dan mengikat erat kehidupan warga sebuah wilayah. Sampai akhir ini, ketika orang-orang modern menemui kebuntuan dalam hidup, mereka biasa menuturkan kalimat: kita harus kembali ke alam (back to nature), sebuah ungkapan klise karena faktanya kita memang hidup bersama alam, ada hubungan dengan alam (hablum minal ‘alam). Kesulitan yang dialami oleh orang-orang modern justru mengkalibrasi diri sendiri agar benar-benar selaras dengan alam.

Sebagai contoh, bukankah leluhur Sunda telah menetapkan wanci (waktu) untuk mengatur siklus dan pola hidup manusia? Wanci sareureuh budak (Waktu anak-anak istirahat), sebelum era internet memang dipergunakan oleh anak-anak mengawali istirahat mereka (tidur), terjadi hubungan selaras antara diri manusia dengan alam. Wanci sareureuh budak dilanjutkan dengan wanci sareureuh kolot. Untuk dapat selaras dengan alam, melakukan aktivitas sesuai dengan runtut waktu dan wanci sangat tidak mudah di era internet ini. Wanci sareureuh budak diisi dengan rutinitas mabar (main bareng permainan daring/game online) oleh anak-anak modern. Hidup mereka tidak lagi selaras dengan alam melainkan memerankan diri sebagai penakluk alam.

Kerugian terbesar yang dialami oleh anak-anak modern –salah satunya- mereka terlalu asyik dengan lingkungan dan komunitas sosial namun telah jarang menatap langit sambil bergumam: lihat ada bintang jatuh! Atau tingali, béntang mani baranang! Antroposentris telah menempatkan manusia sebagai pengelola diri sendiri, berkehendak bebas, berhak mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan pihak lain, apalagi campur tangan kekuatan alam. Jika orang-orang Mesopotamia terbiasa menatap langit dan konstelasi bintang di malam hari kemudian menjadikan kekuatan alam sebagai pedoman (kompas) dalam perjalan dan kehidupan, maka orang-orang modern lebih banyak menatap ke bawah, mengamati pergerakan statistic saham, permainan, menyusun strategi politik menjelang Pileg dan Pilkada.

Itulah alasan, simbol pada zaman dahulu sering dikaitkan dengan kekuatan adikodrati yang berada jauh di atas kemampuan nalar manusia. Memperbincangkan simbolisasi sebuah kota di masa kini memang tidak akan menambah atau mengurangi kemasyhuran sebuah kota. Tetapi dalam praktinya, penjenamaan atau branding sebuah wilayah sedang menjadi trend dan terus diwacanakan oleh orang-orang modern. Dengan demikian, se-tradisional dan se-modern kehidupan, manusia tetap saja memerlukan alasan untuk menginformasikan berbagai hal melalui media, alat, atau perantara yang mudah dicerna namun memiliki kesan mendalam serta padat dengan pesan tersirat.

Warga Kota Sukabumi telah mencoba mentransformasikan simbol-simbol sebagai penghias “waruga” kota. Pohon paku berdiri kokoh di pintu masuk Lapang Merdeka. Sebuah hexagram terlukis kuat di Jalan A. Yani sebagai penanda titik nol kilometer. Setiap komunitas memvisualisasikan simbol-simbol mereka dalam bentuk atribut. Bahkan, jika kita mengamati dengan jeli, simbol-simbol masa lalu memang telah tersemat pada bangunan-bangunan kolonial. Nampak jelas, terjadi hubungan yang saling berkelindan antara simbol masa lalu dengan jenama yang dibuat oleh orang-orang Sukabumi modern saat ini.

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Memperbincangkan Simbol di Kota Sukabumi"