KANCIL DAN BUAYA

Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), kita sering diberi dongeng-dongeng dan cerita-cerita oleh Bapak atau pun Ibu guru. Di antara sekian banyak fabel (dongeng binatang) tersebut ada sebuah dongeng yang mengisahkan: para buaya ditipu oleh seekor kancil.

Saat anak-anak, kita memahaminya bahwa dongeng kancil dan buaya adalah dongeng, tanpa pesan moral apa pun jika para guru tidak membeberkan bahwa di dalam fabel tersebut tersimpan pesan moral agar dicontoh atau diteladani oleh anak-anak.

Begitulah, sampai akhirnya Aesof seorang penulis fabel di jaman Yunani Kuno mampu menyihir para orangtua dan anak-anak dengan cerita-cerita binatangnya. Penuh fantasi, liar, tapi begitu efektif dalam memberikan pembelajaran dan ajaran moral kepada anak-anak.

Ajaran moral dalam cerita-cerita harus diungkap se-kreatif mungkin baik oleh para guru mau pun para orangtua. Salah satu cara kreatif itu adalah dengan membuat cerita kontradiktif dari cerita asal. Misalkan: dalam cerita kancil dan buaya disebutkan Sang Kancil memang cerdik hingga mampu membodohi para buaya. Ukuran badan kecil mampu membodohi Si badan besar. Nah, dalam cerita baru yang kita buat, ciptakan sebuah kontradiksi: Si Buaya tidak bisa ditipu lagi oleh Sang Kancil karena mereka telah membaca buku dongeng kancil dan buaya.

" Hahaha, kamu akan menipuku? Aku tidak akan tertipu seperti buaya yang ada di dalam cerita bodoh kancil dan buaya! Aku sudah membaca buku cerita itu, Cil!" Begitu kira-kira ucapan buaya dalam cerita kontradiksi yang kita buat.

Artinya, siapa pun harus terus belajar agar banyak tahu dan tidak tertipu lagi dengan satu adegan yang sama. Karena apa? Hidup dan kehidupan kita adalah rangkaian cerita dari Sang Maha pembuat skenario. Kita aktor dan aktris di dalam ampiteater kehidupan ini.

KANG WARSA | RIYADLUL JANNAH
Dikirim melalui BlackBerry®

Posting Komentar untuk "KANCIL DAN BUAYA"