Anak Kecil yang Menunggu di Bawah Pohon Kersen

Di bawah pohon kersen, Rana masih menunggu mama, sejak pulang sekolah sampai sore. Seragam putih merah masih melekat di tubuh mungilnya. matahari menyinari pelataran Bumi Tuhan dengan cahaya kuning. Bayangan kelam pohon kersen meneduhkan si kecil. Lalu-lalang kendaraan yang mengepulkan asap pekat bukan persoalan bagi Rana. Debu menderu terpingkal menerjang, bukan masalah baginya untuk tetap setia menunggu. sampai mama pulang…

Hangat cuaca. Semilir angin. Dedaunan kuning kering yang berjatuhan ibarat salju berguguran di musim dingin. Orang-orang berhamburan meramaikan pinggir jalan. Aroma parfum wangi-wangi beraneka. Ada karnaval di alun-alun kota yang terletak di seberang jalan. Sebentar lagi parade orang-orang dengan kostum warna-warni akan menyesakkan jalanan. Rana… sama sekali tidak tertarik dengan semua itu, padahal anak-anak seusianya ramai berduyun dituntun oleh orang tua mereka menyesaki alun-alun kota. Namun Rana masih setia menanti , sampai mama pulang.

Setiap hari. segala sesuatu terus berjalan sebagaimana biasanya. Rana menunggu mama, sampai jam menunjukkan pukul 16.00 atau lebih. kemudian sebuah angkutan umum berhenti di pinggir jalan di dekat pohon kersen. Disusul dengan keluarnya seorang ibu muda dari dalam angkutan umum. Mata teduh Rana menerjang lembut, ditumbuhi bulu mata lentik lebat. Sekulum senyum menyeruak dari bibir mungilnya, ketika mamanya menjulurkan tangan menantang Rana. Ia berlari tanpa pertimbangan, memburu tantangan mamanya. Wajah mamanya begitu sumringah, gurat cantik namun lelah begitu nyata terlukis kuat. Angin senja menggeraikan rambut panjangnya. stelan pakaiannya sederhana, kemeja putih lengan panjang kolaborasi dengan celana panjang hitam . Kulit wajah putih tersirami cahaya keemasan, menggurat senjakala dalam dirinya…

“Mama… datang….Mama datang….!” Teriak Rana memburu Rismala. Beberapa orang tersenyum menyaksikan adegan tersebut.

Rismala memeluk erat tubuh anaknya. rajutan kasih sayang yang begitu kokoh dari tangannya. Mengangkatnya. Menciumi pipinya.

” Mari kita pulang, sayang…”

” Rana mau menunggu papa dulu, Mama…” Ucapnya tulus dan agung.

Mata Rismala berkaca-kaca. Mungkin hatinya tersayat..

” Rana… Papa masih bekerja, sayang… Kita tunggu saja di rumah, yuk!”

Mata sayu anak kecil itu semakin teduh. Antara mengerti dan tidak…

Hingga Rismala memeluk Rana. memangkunya pergi. pulang.

###

Malam.

Di luar rumah, cuaca cerah. Gemintang bertaburan di langit tegas tanpa awan. Rumah-rumah berwarna keperakan, bermandikan cahaya rembulan. Purnama menerjang. angin malam musim kemarau berhembus, memeluk setiap pohonan, kering dan dingin. Pemukiman penduduk semi kumuh tergambar jelas. Rumah-rumah sederhana gemebyar dengan cahaya lampu lima watt. Irama-irama dangdut, lagu-lagu putus cinta, harapan yang kandas, patah hati, remix, pop, dan rock larut dalam aroma bising, keluar dari rumah-rumah melalui jendela setengah tertutup. Para lelaki duduk tercenung di teras rumah sambil menikmati secangkir kopi pahit. mengisap rokok kretek lintingan sendiri. Aroma tembakau murahan tercium meriah, menyengat apek. sering sekali bau tidak sedap tercium, berasal dari selokan sebelah Barat. Kemarau telah menyulap selokan menjadi ular berbisa yang menyimpan segala sesuatu di luar jangkauan nilai estetis. Ah… masa bodoh dengan semua itu. Lagu dangdut, dan hisapan rokok kretek murahan adalah nilai lebih bagi mereka. Malam harus diisi dengan suka cita meskipun siang hari mereka isi dengan keluhan dan jibaku melawan ganasnya gelora zaman.

Rismala selalu merasakan semua itu. Sejak pindah rumah ke tempat itu. Awalnya gerah, namun lama-lama juga menjadi terbiasa. Dia selalu tahu, tengah malam nanti sampai menjelang subuh, suara gitar berbaur dengan nada bariton para pemuda berdendang berkumandang. Disempurnakan dengan bunyi ember yang ditalu-talu sebagai pelengkap indahnya alunan musik murahan namun meriah.

Dia menatap wajah Rana yang tergolek di atas pembaringan. Wajah polos anaknya begitu berarti di mata Rismala. Bocah polos yang selalu setia menunggu kepulangannya. Didekatinya Rana. Ditarik selimut, menutupi sekujur tubuh anaknya. Diusap rambut ikal anaknya, lalu dikecup keningnya.

“ Lihatlah Ton!” Gumam Rismala. “ Anak kita sudah sebesar ini… Kamu ke mana saja Ton ?” Ada air mata menitik. Berat.

Rismala membuka-buka buku anaknya. Dalam pikirnya, Rana sangat cerdas. Nilai-nilainya pasti akan membuat beberapa teman se kelasnya iri kepadanya. Terutama di bidang pelajaran mengarang. Anaknya selalu menulis karangan, temanya itu-itu juga, tentang Papanya.. Kartu SPP diperiksa,” Sudah tiga bulan….” Ucapnya lirih. Beberapa surat tagihan dari pihak sekolah. Ia membacanya. “ Mama pasti berjuang demi masa depanmu Rana…”

Dalam benaknya timbul pikiran. Tidak cukup hanya mengandalkan bekerja di pabrik tekstil yang penguk dan kotor untuk mencipta masa depan anaknya. Gajinya kecil hanya lima ratus ribu rupiah perbulan, habis terkuras untuk bayar sewa kontrakan dan makan sehari-hari.

“ Aku harus kerja sampingan…”

###

Pada diri Rismala tersimpan Ton. Seorang lelaki pengecut yang menjanjikan harapan namun nyatanya gombal dan getir. Segalanya kandas. Namun ia percaya, bahwa harapan masih terus bisa dicipta oleh siapa pun, kapan pun dan dimana pun. Orang akan senantiasa bisa membuat surga, kendatipun ia hanya seorang ibu muda lemah. Tidak selamanya setiap lelaki bisa menjelma menjadi manusia sejati. Justru keperkasaan yang sesungguhnya selalu tercipta dari diri seorang wanita…

“Sebaiknya dipikirkan dengan matang, Ris!” Kata ibu sambil menatap wajah Rismala ,” pernikahan beda keyakinan itu sangat riskan…” Lanjut ibu setengah bergumam. Raut wajahnya tirus dan murung jelas.

Bapak duduk melongo, menatap udara, jauh dan kosong. Baginya, keinginan anaknya teramat melampaui batas angan siapa pun..

“ Percayalah, Bu, Pak. Mas Ton itu orang baik…”

“ Kami sebagai orangtua, hanya mewanti-wanti saja, jangan sampai ada penyesalan pada akhirnya nanti, Ris.” Air mata mulai menggelayut di kelopak mata Ibu.

“ Rismala siap menanggung segala resikonya, Bu..”

Ibu memeluk erat Bapak, air matanya menguyur dada bapak, ketika bapak larut dalam dalam emosi yang hamper tak terkendali, kesal, marah, dan menyesal. Namun tidak dapat dikeluarkan.

Dan pada akhirnya, Rismala pergi bersama Ton, menikah di tempat yang jauh dari kedua orang tuannya. Rismala tahu, Ibu dan Bapak sering duduk melongo sambil menatap jalan tak berujung setelah pernikahan dirinya dengan Ton. Air mata kerap bercucuran , keluar dari sudut mata Ibunya.

Tapi dia tidak mau menemui kedua orang tuanya. Rismala melupakan semuanya.

Sampai pada suatu ketika, satu sore di musim kemarau. Ketika debu-debu berterbangan dan dedaunan kering kerontang menggeliat di bawah terik mentari ia menjumpai sebuah surat atergeletak di atas meja. Ton, suaminya memberitakan pulang ke kampung halamannya, di daerah Timur, tanpa menceritakannya terlebih dahulu. Bagi Rismala, jelas keputusan itu adalah sebuah tikaman. Telak menusuk dadanya. Dia hanya bias mengepal kepedihan, tanpa mau bereaksi. Waktu itu usia Rana baru menginjak 4 bulan.

“ Ibu…” Bisik Rismala, “ Bapak…”

Namun dia tidak mau menemui kedua orangtuanya, mungkin malu…pada dirinya sendiri.

Rismala menyimpan satu lembar uang sepuluh ribu rupiah dan secarik kertas berisi pesan untuk Rana di atas meja. Ia bergegas meninggalkan rumah menuju tempat kerja. Wangi melati semerbak membelah udara dingin pagi di musim kemarau. Matahari juga belum menggeliat.

Sesaat setelah Rismala pergi. Anak kecil yang masih duduk di bangku SD kelas 3 keluar dari kamarnya. Menyibakkan tirai penutup pintu. Ia mencari-cari. Wajahnya lesu tapi ada binar bahagia, mungkin ia baru bermimpi bertemu dengan harapannya, dengan orang-orang yang selalu dirindukannya selama ini. Langkahnya masih memberi pesan bahwa dirinya masih mengantuk, sempoyongan. “ Mama telah pergi…” Bisiknya.

Ia duduk mengambil secarik kertas di atas meja., kemudian di ejanya, satu-satu. : “ Mama tidak ingin mengecewakan masa depanmu, Rana. Mama akan kerja sampingan sampai malam. Rana tidak usah menunggu mama di bawah pohon kersen itu…”

Anak kecil itu telah menjadi orang dewasa sejati. Dalam dirinya telah tumbuh kemandirian alami. Mandi, ganti pakaian, berdandan, membeli nasi kuning di Warung Iyem untuk sarapan. Dilakukan sendiri. Orang-orang, bahkan seluruh isi dunia tahu akan hal ini..

###

Tapi sepulang sekolah sampai sore, Rana tetap melakukannya juga. Ia begitu setia dan tulus menunggu kepulangan mamanya di bawah pohon kersen. Kesabaran terlukis dalam dirinya. Matanya memancarkan kilau keyakinan yang teguh bahwa suatu saat nanti orang-orang tercinta akan datang kepadanya.

Hal ini terus berlangsung sejak Rismala mendapatkan pekerjaan tambahan. Mereka menjadi jarang bertemu. Rismala hanya bisa menatap wajah Rana ketika anaknya telah tergolek di atas pembaringan. Ia tidak ingin membangunkannya, ia tidak ingin mengganggu mimpi indah anaknya. Namun.. cita-cita masih tetap menggurat di garis asa diri Rismala,” Dengan cara apa pun aku harus menciptakan masa depan anakku!” keyakinannya begitu kuat.

###

Dioleskannya gincu di bibir tipisnya sebelum ia keluar rumah. Uang SPP, uang Buku, dan tetek-bengek keuangan lainnya diletakkan di atas meja, seperti biasanya. ia tidak bekerja di pabrik tekstil lagi. Tuan Probo telah menunggu di depan rumahnya. Mobil mercy hitam mengkilap padahal hari masih pagi dan alam masih terlelap dalam dingin. Rismala bergegas membuka pintu mobil, senyum hambar terkuak. Tuan Probo menyambut dengan seutas senyum penuh kemenangan.

###

Rana masih setia menunggu kepulangan mamanya di bawah pohon kersen. Matanya berkaca-kaca sering melelehkan air mata yang menganak sungai di pipi mulusnya. Betapa di dalam dirinya ada harapan besar yang terus tercipta.

Hari hampir maghrib. Kepak kelelawar telah menggema. Lembayung menggurat di ufuk Barat. Rana masih mematung. Air matanya bening, semakin berlinang.

Seseorang mendekati anak itu. Digendongnya, sedangkan Rana memeluk erat pundaknya seakan telah menemukan harapannya yang ia cari selama ini. Mereka bergegas menuju ke rumah orangtua Rismala, tanpa banyak bicara. Orang itu akan membawa Rana untuk menemui kedua eyangnya, kakek dan neneknya yang masih terbaring dalam kepedihan. Tapi…air mata Rana menerjang punggung orang itu. Hangat dan basah. Sampai… air mata menitik di sudut matanya….(Kang Warsa)

Sukabumi-Balandongan | 05 Februari 2005

Posting Komentar untuk "Anak Kecil yang Menunggu di Bawah Pohon Kersen"