Sokrates pernah menularkan ide-ide konstruktif melalui sebuah lembaga pendidikan yang tidak terlembagakan bernama "Akademia". Kelompok tirani dua belas menyebut Sokrates sebagai seorang pemberontak, belatung pikirannya melahirkan lalat-lalat hijau yang tidak kalah meriahnya mengerubuni keculasan para kaum tiran.
Demikianlah, sekolah sebagai motivator harus melahirkan para lulusan yang memiliki mental tidak kenal kompromi terhadap keculasan. Perlu diberdayakan, perangsangan agar para pendidik dan warga sekolah, paling tidak mampu melahirkan pemikiran konstruktif atau dekonstruktif namun akan menghasilkan sebuah konstruksi baru dalam kehidupan. Ini memang terlalu abstrak namun sekolah sebagai sebuah lembaga harus bisa mengkongkritkannya agar -warga sekolah memiliki tekad untuk berpikir kemudian bisa menelurkan ide yang membumi.
Sokrates telah melahirkan Plato, kemudian Plato pun melahirkan seorang Aristoteles. Tidak jauh berbeda dengan madrasah-madrasah di Cordova dan Baghdad yang mampu memproduksi cendikiawan-cendikiawan besar dalam segala disiplin ilmu hanya karena lembaga pendidikan tersebut memang dibangun untuk melahirkan orang-orang besar seperti; Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Ghozali, dan sejumlah pemikir lainnya.
Kenapa Akademi dan Madrasah telah berhasil mencetak peserta didiknya menjadi cendikiawan dan ulama besar? Sistem pendidikan yang dilakukan oleh dua lembaga tersebut benar-benar pure dari sikap politis para tenaga pendidiknya. Lembaga pendidikan dibangun memang disediakan untuk memberikan pendidikan dan ilmu kepada peserta didik. Tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia seperti ungkapan Paolo Preire diformulasikan dengan tepat oleh para pendidik di Akademia dan Madrasah.
Memberikan formula yang tidak tepat kepada peserta didik apalagi formula tersebut dilakukan oleh negara, justru akan mempercepat lahirnya tunas-tunas baru dalam berkreasi dan berpikir namun bersifat prematur. Ini masih lebih baik dari akibat fatal jika formulasi pendidikan ini berisi beban dan racun yang dipaksakan agar diminum oleh para peserta didik. Seminggu lalu, di Kabupaten Sukabumi terjadi tawuran antar pelajar, ada pelajar tewas. Ironisnya, kejadian ini berlangsung saat peringatan Hari Pahlawan, 10 Nopember.
Kasus tawuran antar pelajar telah bisa dijadikan parameter, betapa belum berhasilnya lembaga pendidikan menelurkan kebaikan dan orang-orang baik. Daripada memperbaiki masing-masing pihak kemudian menuding: ini murni masalah kenakalan remaja. Lantas? Apa peran UU dibuat, bukankan menurut undang-undang perlindungan anak, hingga usia 19 tahun seseorang masih dikategorikan anak? Dan kita jarang bertanya kenapa remaja menjadi nakal? Kenapa anak-anak sekolah menjadi berang dan beringas?
Beberapa peneliti dan akademisi independen telah mempublikasikan beberapa temuan, kenakalan para pelajar dalam bentuk tawuran tidak sepenuhnya disebabkan oleh persoalan-persoalan di dalam rumah tangga. Ada persoalan lain seperti: beban berat pengajaran di sekolah telah membunuh karakter anak-anak mereka. Beban ini dalam bentuk kurikulum yang diformulasikan sedemikian bagus telah menekan anak-anak ke dalam belenggu depresi. Ketakutan muncul saat mereka tidak bisa mengikuti arus besar materi-materi di dalam sebuah bidang studi. Tekanan ini memengaruhi jiwa dan mental mereka, sampai alam bawah sadar mereka terisi dengan tekanan-tekanan yang pada satu saat nanti haurs dimuntahkan dalam bentuk perangai kasar dan beringas.
Hubungan emosional antara anak didik dengan sekolah seperti sebuah barter antara pedagang nilai yang harus dibeli bukan dengan memahami materi pelajaran namun bisa menghafal letak materi tersebut ada pada halaman berapa sebuah buku. Sekolah-sekolah dibangun dengan tujuan besar, mendorong peserta didik agar memiliki prestasi, kebutuhan akan prestasi sebuah sekolah akan berimbas pada nama baik sekolah tersebut. Di kenal oleh masyarakat sebagai sekolah unggulan. Saringan-saringan untuk masuk ke sekolah diperketat pada sisi sistem namun begitu longgar pada sisi penerapannya.
Sudah saatnya, Akademi dan Madrasah dipelajari kembali sejarah dan perkembangannya, kemudian metodologinya diadopsi oleh sekolah-sekolah modern daripada mereka mengadaptasi bahkan mengekor pola-pola pendidikan di negara maju namun pada akhirnya hanya menjadi bahan penelitian dari negara-negara maju tentang kekurang berhasilannya pendidikan di negara berkembang. Hal penting dalam pola serta metodologi pendidikan di Akademi dan Madrasah adalah: tidak menerapkan batas minimal dan standar penilaian peserta didik berdasarkan apa yang telah mereka terima dari guru kecuali, terus-menerus mengikuti proses pembelajaran. Peserta didik tidak diklasifikasikan berdasarkan pintar dan bodoh hanya karena prestasi akademik. [ ]
KANG WARSA | GURU PKN
Dikirim Melalui Blackberry
Posting Komentar untuk "AKADEMIA DAN MADRASAH"
Sila kirim tanggapan atau saran...