IDENTITAS KEPARTAIAN YANG MELEMAH

Kalender Pemilihan Umum 2014 terus berjalan. Dua setengah bulan ke depan lagi pesta demokrasi akan diselenggarakan. Bagi Kota Sukabumi sendiri, penyelenggaraan pesta demokrasi ini akan bersamaan dengan kemeriahan Hari Ulang Tahun Ke-100 Kota Sukabumi. Wacana yang berkembang di ranah elite baik pemerintahan mau pun partai politik adalah; apakah penyelenggaraan kegiatan-kegiatan HUT ke-100 Kota Sukabumi sebaiknya dilangsungkan sebelum atau setelah penyelenggaraan Pemilu, 9 April 2014? Dalam hal ini, sudah tentu, Pemerintah Daerah Kota Sukabumi harus sebijaksana mungkin dalam menetapkan waktu pelaksanaan kegiatan-kegiatan dalam mengisi HUT ke-100 Kota Sukabumi.

Ada korelasi signifikan antara dua hal di atas: Pemilu dan HUT ke-100 Kota Sukabumi. Norma dan peraturan memberlakukan, pemerintah harus tampil sebagai lembaga independen, menjaga dengan apik netralitasnya, jangan sampai terjebak ke dalam ranah keberpihakan pada salah partai politik. Akan tetapi, di luar itu, secara kasat mata, pucuk pimpinan pemerintahan dalam hal ini Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara de facto dan de jure merupakan jabatan politis yang dihasilkan melalui proses demokrasi, lebih khusus diusung oleh partai politik peserta pemilu 2014. Ambivalensi cenderung menguat ketika ada kesamaran dalam menentukan sebuah kebijakan antara kepentingan umum dan kepentingan yang dikendalikan oleh partai politik.

Ambivalensi tersebut semakin berbanding lurus dengan semakin menurunnya identitas kepartaian (Party-ID) menjelang penyelenggaraan Pemilu 2014 ini. Hasil beberapa survey seperti Charta Politica menunjukkan angka hanya 13,5% saja kekuatan identitas kepartaian di penghujung tahun 2013 (Desember 2013) lalu. Artinya, dengan semakin minimnya Party ID ini, semakin kurang kadar soliditas dalam tubuh sebuah partai politik namun akan meninggikan independensi elit-elit pemerintah dan politik memperlihatkan manuver mandiri dengan cara mengatasnamakan sebuah partai dan oleh partai mana mereka diusung.

Akan timbul kesadaran baru, saat identitas kepartaian semakin menurun, kedekatan antara partai politik dengan massa pemilih semakin longgar dan tidak ditentukan oleh: emosional, ideologi, dan preferensi - para elit politik dan pemerintah yang diusung oleh partai politik melakukan sikap balas jasa dengan mengeluarkan kebijakan yang akan menguntungkan sebuah partai politik. Kesadaran ini diyakini akan menggiring pemilih pada sangkaan, kebijakan pemerintah yang diusung partai politik "A" memang populis. Meskipun kedekatan emosional pemilih dengan partai politik saat ini sudah melemah namun cara ini akan sedikit memperbaiki keretakan identitas kepartaian sebuah partai politik.

Dalam tubuh partai politik sendiri, identitas kepartaian ini telah sangat mengkhawatirkan. Hasil survey Charta Politica bulan Desember 2013 lalu menjadi indikator betapa partai-partai politik peserta pemilu sedang memasuki wilayah yang sepi karena semakin renggangnya kedekatan dengan massa pemilih. Membiarkan hal ini terjadi, identitas kepartaian tetap dibiarkan melemah, akan memunculkan sikap independensi berlebihan terhadap pemilih, kader dan simpatisan, bahkan bagi calon anggota legislatif dari partai politik itu sendiri. Mesin partai politik akan menjadi komponen dan suku cadang yang terpisah, seperti onggokan-onggokan daging tercabik tanpa struktur dan bentuk yang jelas.

Hasil Survey sebuah lembaga survey independen lima bulan lalu terhadap elektabilitas partai politik menunjukkan hasil; pemilih akan memberikan dukungan kepada orang-orang (baik caleg atau pun calon kepala daerah) berdasarkan ketokohannya. Hasil ini pada akhirnya menjebak partai politik agar memprioritaskan diri pada individu bukan pada kinerja mesin partai. Soliditas pun diabaikan, para calon legislatif akan lebih nyaman bekerja secara personal; membentuk tim sukses versi pribadi, mencoba menciptakan ketokohan dalam dirinya. Lahirlah orang yang memang benar sebagai tokoh, ada yang ditokohkan oleh tim suksesnya, dan mayoritas adalah orang yang menokoh-nokohkan diri, parameter sederhana dari hal ini adalah baligho dan spanduk.

Berusaha sekuat mungkin menokoh-nokohkan diri dalam kehidupan berpolitik merupakan sikap oportunis, memanfaatkan peluang ketika individu ditetapkan sebagai calon anggota legislatif atau calon kepala daerah. Harus diketahui, sikap ini hanya akan memupuk imaji personal, mengecilkan idealisme, loyalitas terhadap partai politik, bahkan loyalitas terhadap bangsa dan negara pun akan diabaikan. Sebuah kasus sederhana: Anggota DPRD di Jawa Tengah - sesuai pemberitaan Tempo- berusaha menggunakan anggaran Bansos untuk mencitrakan diri mereka di masyarakat dengan menerima proposal-proposal dari lembaga-lembaga kemasyarakatan. Satu anggota DPRD bisa mengelola hingga Rp. 4 Milyar dana Bansos ini, sementara satu fraksi mendapatkan hingga Rp. 20 Milyar. Hal ini sudah tentu, para anggota DPRD yang mencalonkan kembali di Pemilu 2014 ini akan memolesi diri sebagai penyalur anggaran Banson demi kepentingan masyarakat.(*)

KANG WARSA | GURU PKN


Dikirim melalui BlackBerry® dari 3 – Jaringan GSM-Mu

1 komentar untuk "IDENTITAS KEPARTAIAN YANG MELEMAH"

  1. Setahu saya, sejak jaman Romawi dimana mulai ada sistem partai, tiada tujuan partai kecuali untuk kekuasaan, keserakahan, dan maksiat. Dan itu artinya menentang Allah. Tak satu pun partai yang mengikuti ajakan Allah. Laa iqraha fiddiin..♪♫

    BalasHapus

Sila kirim tanggapan atau saran...