Karikatur Tutup Mulut
Dua tahun lalu, Saya pernah menulis sebuah artikel : Dunia Tak Pernah Kehilangan Kata. Artikel tersebut ditulis bukan tanpa dilatar belakangi oleh satu hal, pemilukada di Kota Sukabumi dan Jawa Barat menjadi satu alasan, Saya menuliskannya. Kenapa? Menjelang penyelenggaraan pemilukada tersebut, orang ramai berbicara, bahkan mayoritas pendukung bakal calon A dan B sudah terlalu sering berbicara dengan nada berlebihan. Di berbagai media massa di Kota Sukabumi dipasang polling-polling kandidat bakal calon walikota, meskipun dengan nada nyinyir banyak pihak mencibiri, polling di media massa memang bisa dibeli. Kota Sukabumi semakin riuh saja, menjadi bagian dari kemeriahan dunia yang tak pernah luput dari kata-kata.
Di tahun ini, menjelang penyelenggaraan pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014, satu sampai empat bulan ke belakang, hiburan kata-kata kembali dipentaskan oleh bangsa ini. Mayoritas hanya dua jenis; membanggakan calon dukungannya atau menghasud calon lain. Dua pihak saling menyerang, saling menjelekkan, kampanye hitam dan negatif dipentaskan melebihi kisah Illiad dari Yunani atau cerita Romeo dan Juliet, Shakespeare. Siapa pun tercebur ke dalam pergolakan kata-kata, dari tukang A hingga tukang Z. Seperti tanpa kelelahan.
Sedikit kesimpulan dari Saya, ketika dunia khususnya bangsa ini dipenuhi oleh kata-kata yang tidak bermakna, hasudan, iri dengki, saling meneror, membusungkan dada karena bangga dengan calon yang akan didukungnya dengan merendahkan calon lain, bagi Saya itu adalah sebuah kebisingan. Ibarat suara mesin tidak beraturan, pada akhirnya menghilangkan bahkan membunuh kata-kata kita yang dipenuhi oleh humor, bergizi, dan renyah. Dialog-dialog berkualitas hanya memenuhi gubug petani dan perahu para nelayan, mereka membahasakan dengan sangat sederhana masalah kehidupan; pupuk, ikan, perubahan musim, namun di dalamnya mengandung nilai dan memiliki kualitas.
Dalam kebisingan kata-kata, siang dan malam di media-media sosial tidak berhenti cercaan dan makian. Bahasa yang sering diucap dan ditulis adalah pelanggaran HAM, Hembertus, Nasionalisasi, Pencitraan, Blusukan, Revolusi Mental, Himmler, dan dua ideologi dunia; Fasisme serta Komunisme. Dalam hiruk-pikuk dan ingar-bingarnya kata-kata tersebut, makna terdalam darinya telah hilang, yang lahir adalah kekejian ucapan dan hasudan tanpa humor. Dialog dan debat tanpa solusi. Obyektivitas larut dalam subyektivitas, tidak ada yang benar kecuali calon kami.
Demi melihat hal tersebut, Saya kembali mengenang, lima tahun lalu ada seorang kakek di kampungku. Membicarakan hal serius dengan nada alakadarnya. “ Jalma ngaranna ogé, hartina jalmaan. Bisa jalmaan tina JIN, Iblis, ogé dedemit.” Sambil tersenyum dia berbicara. Konteksnya memang tepat, saat dunia dipenuhi oleh kata-kata bermuatan hasudan, maka adalah benar, manusia memang merupakan jelmaan dari mahluk-mahluk tadi; Iblis, Jin, atau dedemit. Hanya saja, tidak akan ada satu orang pun yang mau menerima jika diri mereka merupakan jelmaan dari mahluk-mahluk tersebut. Apakah dengan muculnya kemeriahan hasudan, saling dengki, bisa menjadi indikator jika manusia memang merupakan mahluk jelmaan ? Saya hanya bisa diam, bercermin menatap wajah sambil berbisik; siapa Aku ini sebenarnya?
Saya sangat yakin, saat kehidupan dipenuhi oleh gunjingan, fitnah, hasudan, dan debat kusir, saat itu juga dunia telah mati dan sama sekali telah kehilangan makna.[ ]
Di tahun ini, menjelang penyelenggaraan pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014, satu sampai empat bulan ke belakang, hiburan kata-kata kembali dipentaskan oleh bangsa ini. Mayoritas hanya dua jenis; membanggakan calon dukungannya atau menghasud calon lain. Dua pihak saling menyerang, saling menjelekkan, kampanye hitam dan negatif dipentaskan melebihi kisah Illiad dari Yunani atau cerita Romeo dan Juliet, Shakespeare. Siapa pun tercebur ke dalam pergolakan kata-kata, dari tukang A hingga tukang Z. Seperti tanpa kelelahan.
Sedikit kesimpulan dari Saya, ketika dunia khususnya bangsa ini dipenuhi oleh kata-kata yang tidak bermakna, hasudan, iri dengki, saling meneror, membusungkan dada karena bangga dengan calon yang akan didukungnya dengan merendahkan calon lain, bagi Saya itu adalah sebuah kebisingan. Ibarat suara mesin tidak beraturan, pada akhirnya menghilangkan bahkan membunuh kata-kata kita yang dipenuhi oleh humor, bergizi, dan renyah. Dialog-dialog berkualitas hanya memenuhi gubug petani dan perahu para nelayan, mereka membahasakan dengan sangat sederhana masalah kehidupan; pupuk, ikan, perubahan musim, namun di dalamnya mengandung nilai dan memiliki kualitas.
Dalam kebisingan kata-kata, siang dan malam di media-media sosial tidak berhenti cercaan dan makian. Bahasa yang sering diucap dan ditulis adalah pelanggaran HAM, Hembertus, Nasionalisasi, Pencitraan, Blusukan, Revolusi Mental, Himmler, dan dua ideologi dunia; Fasisme serta Komunisme. Dalam hiruk-pikuk dan ingar-bingarnya kata-kata tersebut, makna terdalam darinya telah hilang, yang lahir adalah kekejian ucapan dan hasudan tanpa humor. Dialog dan debat tanpa solusi. Obyektivitas larut dalam subyektivitas, tidak ada yang benar kecuali calon kami.
Demi melihat hal tersebut, Saya kembali mengenang, lima tahun lalu ada seorang kakek di kampungku. Membicarakan hal serius dengan nada alakadarnya. “ Jalma ngaranna ogé, hartina jalmaan. Bisa jalmaan tina JIN, Iblis, ogé dedemit.” Sambil tersenyum dia berbicara. Konteksnya memang tepat, saat dunia dipenuhi oleh kata-kata bermuatan hasudan, maka adalah benar, manusia memang merupakan jelmaan dari mahluk-mahluk tadi; Iblis, Jin, atau dedemit. Hanya saja, tidak akan ada satu orang pun yang mau menerima jika diri mereka merupakan jelmaan dari mahluk-mahluk tersebut. Apakah dengan muculnya kemeriahan hasudan, saling dengki, bisa menjadi indikator jika manusia memang merupakan mahluk jelmaan ? Saya hanya bisa diam, bercermin menatap wajah sambil berbisik; siapa Aku ini sebenarnya?
Saya sangat yakin, saat kehidupan dipenuhi oleh gunjingan, fitnah, hasudan, dan debat kusir, saat itu juga dunia telah mati dan sama sekali telah kehilangan makna.[ ]
KANG WARSA | GURU PKN
Posting Komentar untuk "DUNIA TELAH BISU"
Sila kirim tanggapan atau saran...