BUDAYA POPULER SERBA KILAT
Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI
Jagat besar bernama semesta kehidupan nyata itu kini telah disulap menjadi jagat kecil semesta kehidupan maya. Sekat dan dinding pemisah antar individu bernama privasi telah dihancurkan oleh internet, jaringan yang dapat dengan mudah memasuki celah-celah privasi dan memasuki rongga kehidupan siapa saja lantas menguasainya.
Para penganut teknophobia tentu menyebut hal ini sebagai kegagalan teknologi dalam mengamankan dan menyamankan manusia itu sendiri. Mereka juga memiliki sangkaan, teknologi telah menjadi mesin penghancur penciptanya sendiri.
Dengan kata lain, manusia yang menggauli dan memiliki ketergantungan besar terhadap teknologi merupakan manusia yang sedang menciptakan kiamat kecil untuk dirinya sendiri. Wajar, para penganut teknophobia ini berusaha menghindari teknologi yang semakin menggila dan menggurita.
Kehidupan di era internet sebagai bagian penting dari kemajuan teknologi telah menjadi cerita tersendiri dalam kehidupan kita sekarang. Penggunaan smart-phone sejak tahun 2005 hingga sekarang telah mengubah cerita kehidupan kita dari serba tradisional menjadi serba modern.
Sebab, teknologi selalu menawarkan keserbacepatan dan kilat khusus. Dia selalu mendaulat penggemarnya dengan kehidupan yang lebih nyaman dan baik. Dia selalu menjanjikan kepada para pemujanya segala sesuatu yang instan atau cepat saji.
Dalam kehidupan tradisional, saat menghindangkan makanan dituntut serba lambat karena ada banyak fase yang harus di lalui. Di masyarakat Sunda, menanak nasi dapat menghabiskan waktu hingga tiga jam, dari mulai membelah kayu bakar, mengisi tungku dengan kayu bakar, menyalakan tungku, membersihkan butiran gabah dari beras (napikeun), membilas beras (ngisikan), memasak beras hingga setengah matang (ngagigihan), meniriskan beras (ngarih), mengukus beras (nyeupan), menanak nasi dan meniriskannya (ngakeul). Setelah tahapan dan proses ini dilalui barulah nasi dapat kita makan.
Tidak hanya proses panjang yang harus dilalui, dalam masyarakat tradisional tahapan-tahapan yang dilalui itu tidak pernah lepas dari 'tetekon' atau aturan tidak tertulis. Setiap tahapan harus diawali dengan membaca mantra atan jangjawokan sebagai bentuk rasa syukur kepada sesame mahluk (beras-nasi) dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar rejeki tersebut menjadi lebih berkah.
Teknologi telah menemukan alat yang bisa memutus beberapa mata rantai sebagaimana tersebut di atas. Manusia telah menciptakan rice-cooker, magic-com, dan magic-jar. Dengan satu piranti beberapa piranti yang biasa digunakan oleh masyarakat sederhana seperti tungku, kompor, sééng, kukusan/aseupan, boboko, katu bakar, dan baji atau kapak sudah tidak diperlukan lagi ketika kita memasak beras menjadi nasi.
Dengan cara memejamkan mata saja, kita dapat menghasilkan nasi yang benar-benar matang dan dapat dikonsumsi. Dengan demikian, seorang ibu tidak perlu lagi bangun pukul 03.00 WIB seperti beberapa tahun sebelumnya. Nasi juga akan tetap hangat dalam beberapa jam.
Dan tentu saja, tanpa harus membacakan mantra atau jangjawokan, kita hanya membaca buku petunjuk cara penggunaan piranti masak, dan itu pun hanya sekali saja, mantra modern yang mudah dihapalkan.
Kehadiran televisi dengan beberapa salurannya ke rumah kita sejak tahun 2000 lalu telah mengalihkan paradigma berpikir kita. Pengajian dan siraman rohani –seolah - tidak memerlukan lagi tenaga ekstra, berjalan kaki ke masjid , majlis, atau rumah ibadah, duduk bersila dengan khusu di lantai, membuka kitab suci dan kitab lainnya, mendengarkan serta menyimak tokoh agama berceramah dan kadang membosankan.
Pengajian di era budaya populer ini tidak lagi dilakukan dengan cara konvensional, kita hanya cukup menyalakan televisi, memilih saluran televisi program keagamaan, merebahkan badan di atas kasur, lalu menyimaknya sambil menikmati makanan ringan. Budaya populer telah menawarkan etika terbuka dan membuka diri terhadap etika-etika yang sebelumnya dinyatakan tabu, tidak boleh dilakukan, pamali!
Ilmu dan pengetahuan juga dapat diraih dengan cara kilat. Untuk mengetahui sejarah peradaban manusia dari A-Z, kita cukup membuka Wikipedia. untuk mempelajari permasalahan dan persoalan agama dan keyakinan, kita tinggal bertanya kepada google atau menontonnya di chanel-chanel youtube, berbagai cara dan solusi hidup telah disediakan oleh website.
Kita dapat dengan mudah menjadi seorang agamawan hanya dengan menyadur atau menjiplak apa yang terdapat dalam laman-laman keagamaan, tanpa harus menjadi santri dan mengikuti pengajian di pesantren dengan cara mendalami kitab-kitab beraksara Arab tanpa syakal bahkan tanpa diakritika (tanda baca). Teknologi telah menawarkan solusi serba kilat setiap persoalan dari agama sampai cara hidup sehat ala google.
Pada sisi lain, penganut teknofilia akan memandang kehadiran teknologi ini sebagai dewa baru, tuhan baru, dan pemujaan baru yang harus diagungkan. Dengan mudah, kelompok ini akan mengatakan: selamat tinggal masa lalu, inilah era sempurna, kubur dalam-dalam sikap tradisional, saatnya menjadi manusia modern, dan pandangan-pandangan lain yang benar-benar mengagungkan kehadiran teknologi.
Dengan mudah juga, pandangan ini –bagian dari diri kita sendiri – menyulap kita menjadi para pengagum gadget, membicarakannya di ruang diskusi: ponsel canggih apa yang harus kita beli?
Dan di balik pemujaan itu pada akhirnya akan melahirkan kebencian seketika saat gadget atau piranti modern yang kita miliki itu rusak. Di ruang-ruang diskusi dunia maya, tidak sedikit orang menjelek-jelekkan Blackberry, iPhone, dan ponsel-ponsel buatan Tiongkok setelah beberapa tahun sebelumnya orang memuja dan memujinya.
Bahkan dengan adanya kemajuan teknologi, wajah seseorang dapat dengan mudah dirombak atau diperbaiki. Toko-toko kosmetika menjadi tempat berburu prodak baru yang dapat memutihkan kulit, membuat wajah bersinar, menghilangkan flek penuaan, memutihkan gigi, meratakan gigi, menebalkan bibir, memuluskan kulit, menghitamkan rambut.
Toko-toko obat dicari oleh para pria dengan alasan sederhana ingin lebih perkasa dan jantan, pada awalnya toko-toko tersebut dikunjungi dengan rasa sungkan dan malu, namun karena para peminatnya semakin banyak, kita sudah tidak tabu lagi mengunjungi dan bertanya kepada pelayan: ada obat kuat perkasa berjam-jam di atas ranjang? Iklan obat-obatan tersebut sudah sangat familiar dengan diri kita, ditawarkan melalui email, media sosial, dan sms.
Yang paling berbahaya dengan kehadiran teknologi ini adalah gadget atau piranti yang kita miliki telah menjadi inkubator kebencian kepada sesama, pabrik dan gudang kedengkian, serta distributor hoaks dan penyalur cacian.
Kita mengalami kesulitan membedakan lagi mana yang benar dan tidak benar. Isu-isu agama dan ras dikemas bukan untuk menyatakan bahwa agama dan ras sebagai lembaga atau pranata perdamaian namun telah dijadikan lembaga pembawa perpecahan, pertikaian, saling klaim kebenaran, dan sikap megalomania atas kelompok lain yang kita nyatakan lemah.
Mayoritas bukan lagi hadir sebagai pelindung minoritas, begitu juga sebaliknya, minoritas telah tampil sebagai kelompok 'songong' dengan alasan melawan penindas dan mencoba menghindarkan ketertindasan.
Hanya dengan memosting: Islam sedang dihinakan oleh kelompok pembenci Islam atau Usir Cino kafir! Kemudian disebarkan secara beruntun, diolah menjadi berita palsu, dibaca dengan ketergesa-gesaan dan emosi meluap-luap, dengan sangat mudah luapan emosi itu menjelma menjadi angkara seperti ikan-ikan di kolam kering, meronta-ronta namun sebetulnya sedang menghadapi sakaratul maut.
Dikirim dari iPhone saya
Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI
Jagat besar bernama semesta kehidupan nyata itu kini telah disulap menjadi jagat kecil semesta kehidupan maya. Sekat dan dinding pemisah antar individu bernama privasi telah dihancurkan oleh internet, jaringan yang dapat dengan mudah memasuki celah-celah privasi dan memasuki rongga kehidupan siapa saja lantas menguasainya.
Para penganut teknophobia tentu menyebut hal ini sebagai kegagalan teknologi dalam mengamankan dan menyamankan manusia itu sendiri. Mereka juga memiliki sangkaan, teknologi telah menjadi mesin penghancur penciptanya sendiri.
Dengan kata lain, manusia yang menggauli dan memiliki ketergantungan besar terhadap teknologi merupakan manusia yang sedang menciptakan kiamat kecil untuk dirinya sendiri. Wajar, para penganut teknophobia ini berusaha menghindari teknologi yang semakin menggila dan menggurita.
Kehidupan di era internet sebagai bagian penting dari kemajuan teknologi telah menjadi cerita tersendiri dalam kehidupan kita sekarang. Penggunaan smart-phone sejak tahun 2005 hingga sekarang telah mengubah cerita kehidupan kita dari serba tradisional menjadi serba modern.
Sebab, teknologi selalu menawarkan keserbacepatan dan kilat khusus. Dia selalu mendaulat penggemarnya dengan kehidupan yang lebih nyaman dan baik. Dia selalu menjanjikan kepada para pemujanya segala sesuatu yang instan atau cepat saji.
Dalam kehidupan tradisional, saat menghindangkan makanan dituntut serba lambat karena ada banyak fase yang harus di lalui. Di masyarakat Sunda, menanak nasi dapat menghabiskan waktu hingga tiga jam, dari mulai membelah kayu bakar, mengisi tungku dengan kayu bakar, menyalakan tungku, membersihkan butiran gabah dari beras (napikeun), membilas beras (ngisikan), memasak beras hingga setengah matang (ngagigihan), meniriskan beras (ngarih), mengukus beras (nyeupan), menanak nasi dan meniriskannya (ngakeul). Setelah tahapan dan proses ini dilalui barulah nasi dapat kita makan.
Tidak hanya proses panjang yang harus dilalui, dalam masyarakat tradisional tahapan-tahapan yang dilalui itu tidak pernah lepas dari 'tetekon' atau aturan tidak tertulis. Setiap tahapan harus diawali dengan membaca mantra atan jangjawokan sebagai bentuk rasa syukur kepada sesame mahluk (beras-nasi) dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar rejeki tersebut menjadi lebih berkah.
Teknologi telah menemukan alat yang bisa memutus beberapa mata rantai sebagaimana tersebut di atas. Manusia telah menciptakan rice-cooker, magic-com, dan magic-jar. Dengan satu piranti beberapa piranti yang biasa digunakan oleh masyarakat sederhana seperti tungku, kompor, sééng, kukusan/aseupan, boboko, katu bakar, dan baji atau kapak sudah tidak diperlukan lagi ketika kita memasak beras menjadi nasi.
Dengan cara memejamkan mata saja, kita dapat menghasilkan nasi yang benar-benar matang dan dapat dikonsumsi. Dengan demikian, seorang ibu tidak perlu lagi bangun pukul 03.00 WIB seperti beberapa tahun sebelumnya. Nasi juga akan tetap hangat dalam beberapa jam.
Dan tentu saja, tanpa harus membacakan mantra atau jangjawokan, kita hanya membaca buku petunjuk cara penggunaan piranti masak, dan itu pun hanya sekali saja, mantra modern yang mudah dihapalkan.
Kehadiran televisi dengan beberapa salurannya ke rumah kita sejak tahun 2000 lalu telah mengalihkan paradigma berpikir kita. Pengajian dan siraman rohani –seolah - tidak memerlukan lagi tenaga ekstra, berjalan kaki ke masjid , majlis, atau rumah ibadah, duduk bersila dengan khusu di lantai, membuka kitab suci dan kitab lainnya, mendengarkan serta menyimak tokoh agama berceramah dan kadang membosankan.
Pengajian di era budaya populer ini tidak lagi dilakukan dengan cara konvensional, kita hanya cukup menyalakan televisi, memilih saluran televisi program keagamaan, merebahkan badan di atas kasur, lalu menyimaknya sambil menikmati makanan ringan. Budaya populer telah menawarkan etika terbuka dan membuka diri terhadap etika-etika yang sebelumnya dinyatakan tabu, tidak boleh dilakukan, pamali!
Ilmu dan pengetahuan juga dapat diraih dengan cara kilat. Untuk mengetahui sejarah peradaban manusia dari A-Z, kita cukup membuka Wikipedia. untuk mempelajari permasalahan dan persoalan agama dan keyakinan, kita tinggal bertanya kepada google atau menontonnya di chanel-chanel youtube, berbagai cara dan solusi hidup telah disediakan oleh website.
Kita dapat dengan mudah menjadi seorang agamawan hanya dengan menyadur atau menjiplak apa yang terdapat dalam laman-laman keagamaan, tanpa harus menjadi santri dan mengikuti pengajian di pesantren dengan cara mendalami kitab-kitab beraksara Arab tanpa syakal bahkan tanpa diakritika (tanda baca). Teknologi telah menawarkan solusi serba kilat setiap persoalan dari agama sampai cara hidup sehat ala google.
Pada sisi lain, penganut teknofilia akan memandang kehadiran teknologi ini sebagai dewa baru, tuhan baru, dan pemujaan baru yang harus diagungkan. Dengan mudah, kelompok ini akan mengatakan: selamat tinggal masa lalu, inilah era sempurna, kubur dalam-dalam sikap tradisional, saatnya menjadi manusia modern, dan pandangan-pandangan lain yang benar-benar mengagungkan kehadiran teknologi.
Dengan mudah juga, pandangan ini –bagian dari diri kita sendiri – menyulap kita menjadi para pengagum gadget, membicarakannya di ruang diskusi: ponsel canggih apa yang harus kita beli?
Dan di balik pemujaan itu pada akhirnya akan melahirkan kebencian seketika saat gadget atau piranti modern yang kita miliki itu rusak. Di ruang-ruang diskusi dunia maya, tidak sedikit orang menjelek-jelekkan Blackberry, iPhone, dan ponsel-ponsel buatan Tiongkok setelah beberapa tahun sebelumnya orang memuja dan memujinya.
Bahkan dengan adanya kemajuan teknologi, wajah seseorang dapat dengan mudah dirombak atau diperbaiki. Toko-toko kosmetika menjadi tempat berburu prodak baru yang dapat memutihkan kulit, membuat wajah bersinar, menghilangkan flek penuaan, memutihkan gigi, meratakan gigi, menebalkan bibir, memuluskan kulit, menghitamkan rambut.
Toko-toko obat dicari oleh para pria dengan alasan sederhana ingin lebih perkasa dan jantan, pada awalnya toko-toko tersebut dikunjungi dengan rasa sungkan dan malu, namun karena para peminatnya semakin banyak, kita sudah tidak tabu lagi mengunjungi dan bertanya kepada pelayan: ada obat kuat perkasa berjam-jam di atas ranjang? Iklan obat-obatan tersebut sudah sangat familiar dengan diri kita, ditawarkan melalui email, media sosial, dan sms.
Yang paling berbahaya dengan kehadiran teknologi ini adalah gadget atau piranti yang kita miliki telah menjadi inkubator kebencian kepada sesama, pabrik dan gudang kedengkian, serta distributor hoaks dan penyalur cacian.
Kita mengalami kesulitan membedakan lagi mana yang benar dan tidak benar. Isu-isu agama dan ras dikemas bukan untuk menyatakan bahwa agama dan ras sebagai lembaga atau pranata perdamaian namun telah dijadikan lembaga pembawa perpecahan, pertikaian, saling klaim kebenaran, dan sikap megalomania atas kelompok lain yang kita nyatakan lemah.
Mayoritas bukan lagi hadir sebagai pelindung minoritas, begitu juga sebaliknya, minoritas telah tampil sebagai kelompok 'songong' dengan alasan melawan penindas dan mencoba menghindarkan ketertindasan.
Hanya dengan memosting: Islam sedang dihinakan oleh kelompok pembenci Islam atau Usir Cino kafir! Kemudian disebarkan secara beruntun, diolah menjadi berita palsu, dibaca dengan ketergesa-gesaan dan emosi meluap-luap, dengan sangat mudah luapan emosi itu menjelma menjadi angkara seperti ikan-ikan di kolam kering, meronta-ronta namun sebetulnya sedang menghadapi sakaratul maut.
Dikirim dari iPhone saya
Posting Komentar untuk "Budaya Populer Serba Kilat"
Sila kirim tanggapan atau saran...