Oleh: Kang Warsa
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI Kota Sukabumi
JIKA secara sengaja atau hanya sekadar melintas saja ke Jalan Kapten Harun Kabir di Sukabumi, apalagi jika dilakukan dengan cara berjalan kaki, kita akan mendapatkan sebuah kemeriahan dan sambutan dari berbagai fenomena yang berlangsung secara live di sana. Lagu-lagu dengan nada tinggi dan volume keras dari lapak para penjual VCD bajakan, suara parau pada pedagang yang menawarkan barang dagangan, lalu-lalang orang-orang dari selatan ke utara dan sebaliknya, kemeriahan para pedagang kaki lima, dan sepeda-sepeda motor yang diparkir tepat di bahu jalan. Itulah wujud sebuah kota, dipenuhi oleh keramaian dan transaksi yang tidak kita dapat rekam dan cerna secara utuh.
Di berbagai media sosial, tidak sedikit orang Sukabumi sendiri menyebut fenomena seperti di atas merupakan bentuk kesemrawutan sebuah kota, seolah tidak ada upaya dari berbagai pihak untuk menatanya menjadi lebih rapi dan enak dilihat. Tidak sedikit, warga Sukabumi dengan sengaja mengunggah foto-foto tentang ketidaktertaan sepanjang Jalan Kapten Harun Kabir tersebut kemudian dibubuhi berbagai caption atau keterangan seperti : Inilah Kotaku.. Bisa jadi, Si Pengunggah foto tersebut hendak melakukan protes kepada Pemerintah Daerah atau mengekpresikan kekesalannya karena ada hak-hak pribadinya yang direnggut, kenyamanan.
Kondisi di Jalan Kapten Harun Kabir akan lebih meriah saat bulan puasa. Kemeriahan tidak hanya disebabkan oleh semakin tumplek bleknya para pedagang baru dan memadati tempat itu, juga disertai oleh ramainya regulasi dari pemerintah terhadap pengelolaan jalan selama bulan puasa. Berbagai pihak ingin terlibat di dalamnya, sebab sudah dapat ditaksir meskipun hanya dengan hitungan di luar kepala, menjadi seorang juru parkir selama bulan puasa saja bisa menghasilkan uang berlimpah apalagi jika dapat mengelola trotoar, bahu, dan badan jalan seluruhnya, ratusan hingga jutaan uang dapat masuk ke dalam kantong hanya dalam waktu beberapa hari saja selama bulan puasa.
Tetapi, dengan cara apapun, dibahas di dalam pertemuan hingga seminar besar, dan dicemooh dengan nada satir hingga sarkastik sekalipun, kondisi Jalan Kapten Harun Kabir tetap akan terlihat seperti biasa saja. Dengan atau tanpa upaya perbaikan serta penataan dari berbagai pihak, jalan itu akan tetap meriah seperti biasa. Para pengguna jalan akan tetap merelakan diri mereka berdesak-desakkan sambil menikmati lagu-lagu dari lapak penjual VCD bajakan. Transaksi antara pedagang kaki lima dengan konsumen berjalan cukup baik melalui tawar-menawar cukup alot sampai harga barang dagangan bisa dibeli dengan harga sangat murah.
Sesekali, kemeriahan di Jalan Kapten Harun Kabir itu terhenti hanya beberapa jam saja antara pukul 24.00 – 02.00 WIB. Udara dingin, jalanan sepi, sampah-sampah berserakan meramaikan pinggir jalan terdiri dari plastik-plastik bekas bungkus barang dagangan yang dibuka oleh pembeli di hadapan para pedagang sendiri, toko-toko tua dengan penampilan cat lusuh sangat tepat jika difoto saat itu, lapak-lapak pedagang pakaian yang terbuat dari bahan alakadarnya, hanya mengandalkan beberapa papan dan triplek itu ditutup rapat, tidak ketinggalan para pedagang dengan sengat nyenyak teler (tidur) di kolong-kolong lapak dagangan mereka, pulas. Saat seperti itu, kita akan menyadari kesemrawutan terhenti untuk sementara waktu.
Jenis kota kontemporer apakah yang pantas disematkan oleh kita terhadap kondisi di Jalan Kapten Harun Kabir itu? Kota post-modern atau kota global kah? Tentu saja sangat jauh sekali jika hendak membandingkan keadaan di Jalan Kapten Harun Kabir dengan beberapa kota besar di Indonesia apalagi negara luar. Kota global sebutan untuk kota-kota besar seperti London, New York, dan Tokyo merupakan kota yang tidak pernah mengenal mati, transaksi terus berlangsung baik secara mewujud atau pun dalam ruang-ruang maya.
Sementara untuk kota besar seperti Jakarta saja masih belum tepat dikatakan sebagai kota global. Sangat berlebihan sekali jika kita mengatakan demi melihat kondisi di Jalan Kapten Harun Kabir dengan sebutan sebuah kota post modern juga, sebab meskipun dipenuhi oleh kemeriahan, tetapi sesekali mengalami kematian dan transaksi berhenti meskipun dalam hitungan jam. Ditambah lagi dengan tingkat kesadaran pengguna jalan yang masih belum memahami apa arti dan fungsi jalan bagi sebuah kota?
Kondisi sangat meriah di sepanjang Jalan Kapten Harun Kabir tidak disebabkan oleh limpahan dari kemeriahan dari pusat-pusat keramaian lain seperti Jalan Ahmad Yani, ia berdiri sendiri saja. Panjang jalan tidak sepanjang jalan yang ada di Kota Sukabumi, tidak mencapai dua kilo meter, tetapi telah menjadi akses penting bagi warga kota, hal itu menjadi salah satu alasan keengganan para pedagang yang telah lama membuka lapak di jalan itu untuk dipindahkan ke tempat manapun. Padahal jika mau jujur keberadaan lapak dagangan mereka merugikan toko-toko yang sudah ada sejak kota ini beridiri. Lebih jelasnya, siapa saja akan mengalami kesulitan memberikan kriteria jenis kota apa yang ditampilkan oleh kemeriahan sepanjang Jalan Kapten Harun Kabir kecuali jika kita menyepakati bahwa keadaan di jalan itu telah mewakili kondisi kota modern di dunia ke-tiga yang masih harus terus dibenahi dan ditata oleh berbagai pihak.
Kadang-kadang, di sela-sela kemeriahan Jalan Kapten Harun Kabir itu tiba-tiba bisa saja terjadi: seorang copet dipukuli oleh orang-orang sebagai bentuk kebencian mereka terhadap kejahatan yang dilakukan oleh Si Pencopet. Preman yang kesehariannya memungut uang kepada para pedagang pun dapat dengan leluasa memukul copet sial itu hingga babak belur. Setelah pemukulan selesai dan copet diamankan oleh aparat berwajib, setiap orang kembali kepada aktivitasnya masing-masing; pedagang kaki lima berjualan di bahu dan badan jalan, pedagang sayur menghamparkan barang dagangan di jalan beraspal, pejalan kaki dengan seenaknya membuang sampah plastik botol atau gelas air mineral, dan suasana jalan kembali ingar-bingar bagaikan orchestra berbagai tetabuhan yang menghasilkan musik dengan judul: kotaku masih harus ditata dan dibenahi.
Guru MTs Riyadlul Jannah – Anggota PGRI Kota Sukabumi
JIKA secara sengaja atau hanya sekadar melintas saja ke Jalan Kapten Harun Kabir di Sukabumi, apalagi jika dilakukan dengan cara berjalan kaki, kita akan mendapatkan sebuah kemeriahan dan sambutan dari berbagai fenomena yang berlangsung secara live di sana. Lagu-lagu dengan nada tinggi dan volume keras dari lapak para penjual VCD bajakan, suara parau pada pedagang yang menawarkan barang dagangan, lalu-lalang orang-orang dari selatan ke utara dan sebaliknya, kemeriahan para pedagang kaki lima, dan sepeda-sepeda motor yang diparkir tepat di bahu jalan. Itulah wujud sebuah kota, dipenuhi oleh keramaian dan transaksi yang tidak kita dapat rekam dan cerna secara utuh.
Di berbagai media sosial, tidak sedikit orang Sukabumi sendiri menyebut fenomena seperti di atas merupakan bentuk kesemrawutan sebuah kota, seolah tidak ada upaya dari berbagai pihak untuk menatanya menjadi lebih rapi dan enak dilihat. Tidak sedikit, warga Sukabumi dengan sengaja mengunggah foto-foto tentang ketidaktertaan sepanjang Jalan Kapten Harun Kabir tersebut kemudian dibubuhi berbagai caption atau keterangan seperti : Inilah Kotaku.. Bisa jadi, Si Pengunggah foto tersebut hendak melakukan protes kepada Pemerintah Daerah atau mengekpresikan kekesalannya karena ada hak-hak pribadinya yang direnggut, kenyamanan.
Kondisi di Jalan Kapten Harun Kabir akan lebih meriah saat bulan puasa. Kemeriahan tidak hanya disebabkan oleh semakin tumplek bleknya para pedagang baru dan memadati tempat itu, juga disertai oleh ramainya regulasi dari pemerintah terhadap pengelolaan jalan selama bulan puasa. Berbagai pihak ingin terlibat di dalamnya, sebab sudah dapat ditaksir meskipun hanya dengan hitungan di luar kepala, menjadi seorang juru parkir selama bulan puasa saja bisa menghasilkan uang berlimpah apalagi jika dapat mengelola trotoar, bahu, dan badan jalan seluruhnya, ratusan hingga jutaan uang dapat masuk ke dalam kantong hanya dalam waktu beberapa hari saja selama bulan puasa.
Tetapi, dengan cara apapun, dibahas di dalam pertemuan hingga seminar besar, dan dicemooh dengan nada satir hingga sarkastik sekalipun, kondisi Jalan Kapten Harun Kabir tetap akan terlihat seperti biasa saja. Dengan atau tanpa upaya perbaikan serta penataan dari berbagai pihak, jalan itu akan tetap meriah seperti biasa. Para pengguna jalan akan tetap merelakan diri mereka berdesak-desakkan sambil menikmati lagu-lagu dari lapak penjual VCD bajakan. Transaksi antara pedagang kaki lima dengan konsumen berjalan cukup baik melalui tawar-menawar cukup alot sampai harga barang dagangan bisa dibeli dengan harga sangat murah.
Sesekali, kemeriahan di Jalan Kapten Harun Kabir itu terhenti hanya beberapa jam saja antara pukul 24.00 – 02.00 WIB. Udara dingin, jalanan sepi, sampah-sampah berserakan meramaikan pinggir jalan terdiri dari plastik-plastik bekas bungkus barang dagangan yang dibuka oleh pembeli di hadapan para pedagang sendiri, toko-toko tua dengan penampilan cat lusuh sangat tepat jika difoto saat itu, lapak-lapak pedagang pakaian yang terbuat dari bahan alakadarnya, hanya mengandalkan beberapa papan dan triplek itu ditutup rapat, tidak ketinggalan para pedagang dengan sengat nyenyak teler (tidur) di kolong-kolong lapak dagangan mereka, pulas. Saat seperti itu, kita akan menyadari kesemrawutan terhenti untuk sementara waktu.
Jenis kota kontemporer apakah yang pantas disematkan oleh kita terhadap kondisi di Jalan Kapten Harun Kabir itu? Kota post-modern atau kota global kah? Tentu saja sangat jauh sekali jika hendak membandingkan keadaan di Jalan Kapten Harun Kabir dengan beberapa kota besar di Indonesia apalagi negara luar. Kota global sebutan untuk kota-kota besar seperti London, New York, dan Tokyo merupakan kota yang tidak pernah mengenal mati, transaksi terus berlangsung baik secara mewujud atau pun dalam ruang-ruang maya.
Sementara untuk kota besar seperti Jakarta saja masih belum tepat dikatakan sebagai kota global. Sangat berlebihan sekali jika kita mengatakan demi melihat kondisi di Jalan Kapten Harun Kabir dengan sebutan sebuah kota post modern juga, sebab meskipun dipenuhi oleh kemeriahan, tetapi sesekali mengalami kematian dan transaksi berhenti meskipun dalam hitungan jam. Ditambah lagi dengan tingkat kesadaran pengguna jalan yang masih belum memahami apa arti dan fungsi jalan bagi sebuah kota?
Kondisi sangat meriah di sepanjang Jalan Kapten Harun Kabir tidak disebabkan oleh limpahan dari kemeriahan dari pusat-pusat keramaian lain seperti Jalan Ahmad Yani, ia berdiri sendiri saja. Panjang jalan tidak sepanjang jalan yang ada di Kota Sukabumi, tidak mencapai dua kilo meter, tetapi telah menjadi akses penting bagi warga kota, hal itu menjadi salah satu alasan keengganan para pedagang yang telah lama membuka lapak di jalan itu untuk dipindahkan ke tempat manapun. Padahal jika mau jujur keberadaan lapak dagangan mereka merugikan toko-toko yang sudah ada sejak kota ini beridiri. Lebih jelasnya, siapa saja akan mengalami kesulitan memberikan kriteria jenis kota apa yang ditampilkan oleh kemeriahan sepanjang Jalan Kapten Harun Kabir kecuali jika kita menyepakati bahwa keadaan di jalan itu telah mewakili kondisi kota modern di dunia ke-tiga yang masih harus terus dibenahi dan ditata oleh berbagai pihak.
Kadang-kadang, di sela-sela kemeriahan Jalan Kapten Harun Kabir itu tiba-tiba bisa saja terjadi: seorang copet dipukuli oleh orang-orang sebagai bentuk kebencian mereka terhadap kejahatan yang dilakukan oleh Si Pencopet. Preman yang kesehariannya memungut uang kepada para pedagang pun dapat dengan leluasa memukul copet sial itu hingga babak belur. Setelah pemukulan selesai dan copet diamankan oleh aparat berwajib, setiap orang kembali kepada aktivitasnya masing-masing; pedagang kaki lima berjualan di bahu dan badan jalan, pedagang sayur menghamparkan barang dagangan di jalan beraspal, pejalan kaki dengan seenaknya membuang sampah plastik botol atau gelas air mineral, dan suasana jalan kembali ingar-bingar bagaikan orchestra berbagai tetabuhan yang menghasilkan musik dengan judul: kotaku masih harus ditata dan dibenahi.
Posting Komentar untuk "Kemeriahan Jalan Kapten Harun Kabir"
Sila kirim tanggapan atau saran...