Jurnal dan Catatan Kecil PPKn

Minggu pertama kegiatan belajar dan mengajar di Madrasah Aliyah Riyadlul Jannah bersamaan dengan rangkaian visitasi Tim Assessor  BAN-SM Provinsi Jawa Barat. Kunjungan assessor tersebut merupakan upaya penilaian akreditasi Madrasah Aliyah Riyadlul Jannah yang sebelumnya telah mengusulkan evaluasi diri atau Eva-Dir Madrasah.

Untuk tahun pelajaran 2019/2020, jumlah peserta didik baru atau kelas X -meskipun jika dilihat secara kuantitatif - masih kurang, namun saya merasa bangga sebab pada diri mereka telah tertanam sikap kritis dan mau tahu terhadap persoalan. Hal ini saya buktikan saat pertama kali melakukan peer teaching di kelas. Dengan mengajukan pertanyaan sederhana -kebetulan pada Bab I, PPKN ini membahas nilai-nilai Pancasila dalam kerangka praktik penyelenggaraan pemerintahan negara- sebagian besar peserta didik berani menyampaikan jawaban terhadap pertanyaan.

Beberapa nilai Pancasila menurut pandangan para siswa antara lain; nilai persatuan, nilai keadilan, dan nilai kemanusiaan. Siswa lain menyampaikan pandangan hal terpenting dalam Pancasila yaitu nilai ketuhanan. Tentu saja semua jawaban yang disampaikan oleh para peserta didik tersebut merupakan hal yang benar.

Mengacu kepada Kompentensi Inti 1 dalam pelajaran PPKn, jawaban beberapa siswa terhadap nilai-nilai Pancasila seperti di atas telah tetap mengenai sasaran. Artinya, dalam diri peserta didik telah tumbuh sikap mengahayati dan mengamalkan agama yang dianutnya. Bahkan saya menambahkan bahwa Kompetensi Inti 1 dalam PPKn ini merupakan kewajiban asasi manusia: meyakini adanya Tuhan.

salah seorang peserta didik mengajukan pertanyaan: Apakah orang yang tidak beragama mengakui adanya Tuhan, Pak? Pertanyaan tersebut tentu saja menggiring kita untuk menjawabnya secara bijaksana. Saya mengatakan kepada para peserta didik, lebih tepatnya sebuah pertanyaan: Apakah Tuhan yang diyakini oleh kita berbeda dengan Tuhan yang diyakini oleh pemeluk agama yang berbeda dengan kita? Tentu saja pikiran mereka menjawab: berbeda! Namun pikiran seperti itu merupakan hal yang seolah benar tetapi jika dicermati secara nalar dengan pikiran seperti itu kita mengakui ada Tuhan lain, ada Tuhan yang berbeda dengan Tuhan yang kita yakini.

Dalam Pancasila sudah begitu gamblang, sila pertama menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini disepakati oleh para founding father dan para pendiri serta orangtua kita secara turun-temurun. Implikasi pengakuan tersebut dapat ditafsirkan secara harafiah: Tuhan manusia itu sama, tidak berbeda. Yang berbeda adalah cara manusia dalam menafsirkan, memberi arti, dan memuja-Nya. Bahkan para penganut keyakinan Sunda Wiwitan, Kaharingan, dan Malim sudah tentu mengakui adanya Dia Yang Maha Tinggi. Fitrah manusia menurut Yuval Noah Harari adalah terlahir sebagai Homo Deus. 

Tuhan memang tidak memerlukan puja dan pujian dari manusia, tetapi manusia -terutama para theis- sangat memerlukan etika dan sopan santun kepada Dia yang telah menciptakannya. Tuhan memang tidak sama dengan pikiran kita, bahkan sangat jauh dengan apa yang kita pikirkan tentangNya, tetapi manusia memiliki pikiran tentang cara dan bagaimana menjadi mahluk yang memiliki rasa terima kasih. Imbasnya toch akan kembali kepada manusia juga.

Memang sederhana sekali untuk meyakini eksistensiNya meskipun secara rasional. Rene Descartes mengatakan: manusia sebagai homo rasionalis akan takjub dengan kecerdasan manusia, tetapi di atas kecerdasan itu sudah tentu ada kecerdasan atau rasionalitas tidak hingga atau super. Maka, dengan berpikir seperti itu saja, eksistensi Tuhan telah dapat dibuktikan dengan akal manusia sendiri. Untuk membuktikan eksistensiNya, kita tidak perlu dituntut untuk menyodorkan alasan-alasan yang dapat melahirkan logical fallacy, kesalahan dalam berlogika misalkan: adanya ciptaanNya merupakan bukti adanya Tuhan. Ekses dari pengungkapan alasan seperti ini adalah: Tuhan dipengaruhi oleh keberadaan ciptaan, jika ciptaan tidak ada makan Tuhan tidak ada. Eksistensi Tuhan tidak dapat dipengaruhi oleh keberadaan apapun.

Seorang Siswa dan Atheis

Salah seorang peserta didik mengajukan pertanyaan, sangat singkat tetapi benar-benar membutuhkan jawaban serius. " Bukankah di dunia ini ada manusia yang tidak mengakui adanya Tuhan, Pa? Kemudian dia melanjutkan, "Sejak kapan manusia mengingkari adanya Tuhan?"

Manusia memang sekumpulan mahluk dengan berbagai varian dan multi-jenis pikirannya. Pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan oleh manusia merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Ada beberapa tokoh penggagas atheisme di era modern ini: Feurbach, Karl Marx, Nietzsche, dan Sartre, dan itu yang tercacat dalam sejarah. 

Saya ambil contoh Nietzsche, filsuf ini mengagas hal sangat tabu di era ketika masa kelam abad kegelapan telah satu abad meninggalkan Eropa. Dia tampil dengan kalimat yang sangat terkenal di dunia filsafat: Tuhan telah Mati! Sebetulnya Nietzsche memang telah menganut atheism sejak sebelum unggapan ini diledakkan. Dia memercayai bahwa konsep Tuhan itu diciptakan oleh manusia dalam pikiran mereka sendiri. Menurutnya, bukan Tuhan yang telah menciptakan manusia, tetapi manusia lah yang telah melahirkan Tuhan.


Gaung ungkapan "Tuhan telah mati!" merupakan nafiri atau terompet kelahiran era nihilisme, hilang atau kosongnya nilai-nilai lama (ketuhanan). Selanjutnya Nietzsche menyodorkan solusi, segala hal apapun harus diselesaikan oleh manusia, manusialah yang dapat menciptakan dan melahirkan peradabannya sendiri. Manusia langit, manusia super, dan manusia hebat yang akan tetap dapat eksis dan bertahan di dunia ini. Faktanya, tetap saja manusia mati. Tetapi bagi para penganut atheis, kematian manusia itu memang merupakan hukum mekanik di dunia, jantung berhenti berdekat, ya sudah pasti manusia meninggal. 

Atheisme tentu saja merupakan ide yang bertolak belakang dengan nilai-nilai Pancasila. Terhadap ideologi dan nilai-nilai yang tidak sejalan dengan pedoman berbangsa dan bernegara, kita hanya dituntut untuk mengetahuinya saja, bahwa di dunia ini memang tidak sedikit bahkan lambat laun akan menjadi mayoritas di jagat raya para atheis. Jika ideologi atau nilai tersebut telah terbentuk dan menghasilkan gerakan maka kita harus benar-benar mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan dengan penuh pengkhayatan dan khidmat.

Kang Warsa
Guru PPKn dan Basa Sunda Riyadlul Jannah




Posting Komentar untuk "Jurnal dan Catatan Kecil PPKn"