Masyarakat Penjelajah dan Pemburu

Revolusi pertanian yang terjadi 10.000 tahun lalu telah mengubah paradigma atau cara berpikir manusia, kehidupan sebagai penjelajah, pemburu, dan peramu menjadi tradisi yang mulai ditinggalkan oleh manusia. Untuk apa kita harus bersusah payah menjelajah, melawan alam saat alam sendiri sebetulnya telah menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan oleh kita? Kita hanya dituntut untuk berbaik-baik saja dengan alam, mungkin begitulah pikiran para leluhur manusia waktu itu.

Lahan-lahan baru dibuka sebagai tempat penyemaian pola pikir baru, masyarakat agraris baru. Pembukaan lahan-lahan baru tersebut merupakan gejala awal dari proses domestikasi berbagai aset alam agar benar-benar keberadaannya sangat mudah dan dapat mencukupi kebutuhan manusia saat diperlukan. Pembukaan lahan tempat bercocok tanam itu menjadi alasan lain bagi manusia untuk menjaga dan membuat pemukiman di tempat terdekat lahan pertanian agar lahan-lahan tersebut mudah dirawat dan dijaga dari serbuah binatang liar atau dari tangan usil manusia lain dari klan atau masyarakat yang berbeda.

Pola pikir manusia berubah secara drastis, pranata sosial paling sederhana seperti keluarga, paguyuban/komunitas, dan masyarakat mulai terbentuk bersamaan dengan kelahiran berbagai aturan, norma, dan nilai yang dihasilkan dari konsensus bersama. Lahan-lahan baru yang diciptakan oleh manusia –diyakini oleh mereka- kelak dapat melayani kebutuhan pangan masyarakat, tetapi pada dasarnya manusia sendiri lah yang dituntut oleh tanaman-tanaman domestikasi untuk merawat dan menjaganya. Manusia tetap menjalankan posisi mereka sebagai hamba atas lahan-lahan baru tersebut.

Komunalisme sebuah masyarakat yang lebih mengedepankan kebersamaan telah lahir. Tanpa kebersamaan adalah omong kosong jika beberapa bulan ke depan mereka akan menghasilkan sumber pangan yang dapat mencukupi kehidupan manusia. Partikularisasi memang belum menampakkan keberagaman sebab ciri sebuah maasyarakat komunal masih mengutamakan keseragaman. Sumber-sumber pangan yang dihasilkan oleh manusia agraris harus diatur sedemikian rupa, mereka pada akhirnya menghasilkan satu kesepakatan terhadap kesederhanaan dalam hidup merupakan satu keniscayaan. Sumber pangan hasil panen tahun ini harus dikonsumsi secara hemat agar dapat memenuhi kebutuhan mereka sampai tiba pada musim panen tahun berikutnya. Norma kesederhaan ini terus berlangsung dan dipraktikkan di dalam kehidupan masyarakat agraris. Jika saja kita diberi kemampuan –misalnya menggunakan mesin waktu – kembali ke tahun 70-an, kita tidak akan menemukan tumpukan piring berisi sisa-sisa nasi dan lauk-pauknya di acara “hajatan”, selamatan, atau kenduri.

Hidup boros dan menyia-nyiakan sumber makanan menjadi hal tabu dan terlarang di lingkungan masyarakat agraris. Saat kecil, saya dan beberapa anak lainnya dituntut oleh orangtua agar benar-benar melestarikan hidup hemat. Uang logam akan ditabung pada celengan-celengan yang terbuat dari tanah liat atau dari bambu. Seorang anak yang diberikan uang jajan kemudian langsung dihabiskan dalam satu waktu akan dicap sebagai anak boros, menyalahi norma sosial yang menuntut hidup harus hemat. Namun perlu dicatat, kesederhanaan itu memang lebih banyak berlaku di kalangan masyarakat biasa, masyarakat agraris. Sementara di kalangan elit (kaum menak), seperti yang ditulis oleh Multatuli, pesta pora dan poya-poya justru menjadi bagian dari norma kaum menak (aristokrat lokal). Kaum menak tidak merasa keberatan menggunakan uang-uang hasil pungutan pajak dari masyarakat agraris untuk pesta pora dan menikmati hidangan-hidangan berbagai makanan yang tidak boleh disentuh atau dijamah oleh masyarakat biasa, meskipun sisa-sisa makanannya. Sisa-sisa makanan akan lebih baik diberikan kepada kucing atau ayam-ayam ternak para menak daripada harus diberikan kepada jelata.

Jauh berbeda secara diamtetris antara norma masyarakat agraris dengan masyarakat modern yang telah memasuki era kejayaan kapitalisme. Konsumerisme menjadi etika baru yang dipercaya oleh masyarakat modern. Hal tersebut disebabkan oleh semangat utama kapitalisme adalah memproduksi sebanyak-banyaknya berbagai barang, kemudian ditawarkan kepada masyarakat yang sangat haus oleh hasrat dan keinginan. Reklame dan tayangan iklan berbagai produk mengusik alam bawah sadar manusia modern agar ingin memiliki barang yang ditawarkan. Peralihan norma terjadi, saat masyarakat masih memegang prinsip agrarikultur mereka akan benar-benar menghemat uang dan kaum-kaum elit secara leluasa menghambur-hamburkan uang. Apa yang terjadi di era kapitalis merupakan hal sebaliknya: masyarakat baik di perkampungan atau perkotaan saling berlomba-lomba menghabiskan gaji bulanan, membeli keinginan mereka sementara kaum elit terutama penganut kapitalis akan semakin menghemat dan memenuhi pundi-pundi keuangan mereka dengan semangat invenstasi.

Kita - saat ini - memang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan dunia kapitalis sebuah mesin yang telah menciptakan gejolak keinginan daripada kebutuhan. Kapitalisme tidak surut terhadap kondisi apapun baik pada hari-hari biasa atau hari-hari yang kita rayakan bersama sebagai hari besar. Sebagai contoh, hari kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 Agustus yang seharusnya kita rayakan penuh dengan suasana khidmat telah dijadikan lahan obral beras-besaran berbagai macam produk, toko-toko online berebut hati masyarakat sambil menarwarkan harga produk paling murah. Setiap menjelang lebaran yang seharusnya diisi dengan suasana kesederhanaan –justru sebaliknya- kita meleburkan diri pada suasana kemegahan, belanja barang-barang baru, berburu produk terbaru dan teruptodate, seolah-olah kita tidak ingin ketinggalan trend oleh orang lain. Dalam memori kita telah dibenamkan sebuah chip produk kapitalisme: jangan menjadi manusia kudet atau kurang update.

Siapapun, apapun latar belakang kita, apapun keyakinan dan agama kita, 99% umat manusia telah menjauhi atau paling tidak menghindari ajaran-ajaran yang telah dibawa oleh Gautama, Yesus, dan Nabi Muhammad SAW tentang kesederhanaan. Sebenarnya kita sedang kembali jatuh ke masa 13.000 tahun lalu saat para leluhur kita hidup sebagai para penjelajah dan pemburu. Para leluhur kita menjelajahi belantara-belantara gelap yang di dalamnya dipenuhi oleh berbagai binatang yang kapan saja siap menerkam jika mereka lengah. Saat ini –kita- selalu menjelajahi mall-mall, toko-toko online yang dipenuhi oleh berbagai macam barang yang siap-siap menyergap dan menjebak kita dalam kandang keinginan besar untuk memilikinya. Para leluhur kita mewarisi genetika pemburu kepada anak cucunya yang hidup di era perburuan barang-barang produk kapitalisme. Sulit bagi kita untuk mengelak darinya. Resiko penghindaran terhadap produk dan keinginan tersebut adalah sikap minder merasa diri tidak terlahir sebagai manusia baru dengan pemikiran baru. Seperti halnya telah terjadi pada manusia yang tidak bersedia ikut berburu dan menjelajah pada 13 abad lalu, manusia lemah yang akan ditinggalkan sendiri dari kawanannya.

Oleh: Kang Warsa | Guru Bahasa Sunda

Posting Komentar untuk "Masyarakat Penjelajah dan Pemburu"