Korban 1965: 'Saya bertemu algojo yang menembak mati ayah saya'

Dalam gendongan ibunya, saat berusia kira-kira lima bulan, di sebuah malam pada 1965, dia dihadapkan peristiwa horor: ayahnya dijemput paksa oleh sekelompok tentara -dan tidak pernah kembali.
Ketika huru-hara meletus setelah peristiwa G30S 1965, Matari, sang ayah, adalah guru sekolah rakyat (SR) di Desa Bulumulyo, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
"Desa kami memang dulu merupakan basis PKI (Partai Komunis Indonesia)," kata Supardi, 75 tahun, yang juga eks tapol pulau Buru.
Pekan kedua September lalu, saya mengunjungi desa yang jaraknya sekitar 35km dari pusat Kota Pati. Lengang dan berdebu, begitulah yang terlihat ketika saya mendatangi salah-satu sudutnya.
Di rumah Supardi, yang berbentuk joglo dan ditumbuhi pohon mangga di halamannya, saya bertemu salah-seorang putra Matari. Namanya Handoyo Triatmoko, kelahiran April 1965.
"Hampir semua keluarga kena semua. Saudara-saudara orang tua saya juga kena," ungkap Handoyo, mengenang. "Kena" di sini berarti mereka diciduk oleh tentara dan polisi karena dianggap simpatisan atau anggota PKI.

Tidak tahu kuburan ayahnya

Diantaranya yang diciduk adalah kakeknya, ayahnya serta ibunya. "Karena semua orang tua dalam tahanan, saya yang masih bayi terpaksa ikut di dalam tahanan," ujar ayah dua anak ini.
Ditingkahi sesekali nyanyian burung perkutut dan kokok ayam jago, Handoyo kemudian mengungkapkan bahwa setidaknya ada tujuh atau delapan orang warga Desa Bulumulyo yang "mati dibunuh" usai G30S.
"Termasuk ayah saya," tandasnya. Sesekali dia tercekat ketika menceritakan apa yang dialaminya saat keluarga besarnya menjadi pesakitan lantaran dicap sebagai PKI.
Walaupun keluarga besarnya sejak awal meyakini bahwa Matari -ayah Handoyo- meninggal, mereka tidak pernah tahu di mana dia dikuburkan. Juga bagaimana dia menjemput ajal.
Situasi politik saat itu, ketika rezim Orde Baru berkuasa, membuat mereka memilih memendam segala seuatu yang terkait "masa lalu" mereka.

'Ini anaknya siapa?'

Suatu saat, sekitar tahun 1978, ketika masih di bangku kelas satu SMP, Handoyo berlibur ke rumah temannya asal Pati yang tinggal di Klender, Jakarta Timur.
Di rumah itulah, sekitar pukul empat sore, dia bertemu seorang tamu yang kebetulan kenal baik dengan tuan rumah. "Walau sudah tua, saya masih ingat, badannya kekar," ujarnya.
Handoyo mengaku ingat betul isi percakapan yang sudah berusia 37 tahun silam.
"Ini siapa?" Sang tamu berbadan kekar itu bertanya kepada tuan rumah, seraya matanya menyorot Handoyo.
"Dia anaknya pak Matari, kepala sekolah, dan ibu Mastika, sekretaris desa" kata tuan rumah. Tiba-tiba sang penanya tercekat dan menangis.
Melihat situasi itu, tuan rumah kemudian menarik Handoyo ke ruangan dalam. "Sudah, sudah nanti ingat yang bukan-bukan," katanya, menirukan suara temannya.
Penasaran. Begitulah yang dirasakan Handoyo, kala itu.

'Saya yang menembak mati ayahmu'

Tetapi belum selesai memikirkannya, tamu "misterius" itu sekonyong-konyong menarik pelan tangannya.
"Benar kamu anaknya Pak Matari? "Ya," jawab Handoyo. Suara sang tamu masih tercekat dan kembali menangis.
Pria itu lantas melanjutkan: "Kalau mau nyekar (menziarahi makam) bapakmu di jembatan Bengawan Solo yang tepatnya di kota Cepu."
Loh, bapak kok tahu? Tanya Handoko. Sempat terhenti sekian detik karena terisak, tamu itu kemudian melanjutkan:
"Bapakmu saya kenal baik, tapi karena saya menjalankan tugas negara, bapakmu saya tembak mati."
Seingatnya, pria yang berlatar tentara itu tidak meminta maaf. "Dia hanya mengatakan merasa terkena karma atau berdosa."
Menurutnya, ayahnya dieksekusi bersama tiga orang lainnya yang dituduh simpatisan PKI. "Mereka dalam keadaan diikat renteng dan diberondong (ditembak) terus masuk ke sungai."

Memaafkan

Sebagai bocah yang berusia 13 tahun, Handoyo mengaku tidak mengorek lebih lanjut tentang latar belakang algojo pengeksekusi ayahnya.
"Saya tidak sempat menanyakan dia siapa dan alamatnya di mana. Kecuali tahu kalau dia dari tentara angkatan darat. Apalagi situasi saat itu tidak karu-karuan. Oleh keluarga saya 'dipisahkan' dari masa lalu," ungkapnya.
Belakangan, dia mengetahui orang yang mengaku eksekutor ayahnya telah meninggal dunia.
Ketika saya bertanya, apakah dirinya sekarang bisa memaafkan pelaku eksekusi ayahnya, Handoyo berkata: "Saya sering bilang begini: belum minta maaf, sudah saya maafkan, karena saya punya cita-cita masuk surga."
Namun demikian, dia buru-buru mengatakan: "Saya menginginkan agar kejadian yang seperti saya alami ini tidak terulang di masa depan."

Mengungkap kebenaran

Dan sejak awal 2000, Handoyo, Supardi serta eks tapol asal Desa Bulumulyo, Pati, terlibat dalam upaya mengungkap sejumlah kuburan massal di sejumlah wilayah di Pati.
Mereka kemudian mendirikan Yayasan penelitian korban pembunuhan (YPKP) 1965/1966 cabang Pati. Dia kini dipercaya untuk menakodainya.
"Banyak orang yang tidak berdosa dan tidak pernah diadili, akhirnya disiksa, diasingkan, dan dibunuh. Kita ingin mengungkapnnya. Saya juga ingin agar kejadian yang seperti saya alami ini tidak terulang di masa depan," kata Handoyo.
Walaupun mengaku masih didiskriminasi, Handoyo kini mampu menjadi Kepala desa Jetak, Kabupaten Pati, dalam pemilihan demokratis pada Maret 2015 lalu.
Rupanya, Handoyo mampu melalui masa lalunya yang amat pahit, di mana ketika sebagian besar keluarga besarnya menjadi pesakitan karena dicap PKI.
"Saya teringat nasihat kakek saya, yang terus menerus berkata agar saya terus bersekolah. Kakek saya berkata: Kalau kamu pintar, kamu akan bisa mengatasi kesulitan," kata alumni fakultas hukum sebuah perguruan tinggi di Semarang ini.

Posting Komentar untuk "Korban 1965: 'Saya bertemu algojo yang menembak mati ayah saya'"