Kinanti

"Sebuah Penantian"

Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, di kelas empat, kita diperkenalkan pada bermacam pupuh. Dua sampai tiga pupuh bisa disebut sebagai pupuh popular; kinanti, asmarandana, dan mijil. Empat belas pupuh jarang diperkenalkan kecuali jika sekolah akan mengikuti "pasanggiri" mupuh. Bahkan, karena bersifat pengenalan atau sebuah pengantar, jarang sekali di masa itu para guru menjelaskan inti mendasar kandungan dalam pupuh tersebut. Interpretasi berlebihan atau kompleks hal yang jarang dilakukan apalagi di masa sekarang.

Pupuh kinanti, budak leutik bisa ngapung//babaku ngapungna peuting// ngalayang ka kakalayangan // neangan nu amis-amis// sarupaning bungbuahan// naon bae nu kapanggih. Interpretasi popular terhadap kinanti ini adalah "kelelawar". Pada kedalaman pemikiran, padalisan dalam pupuh ini dibahasakan oleh para karuhun bukan tanpa dasar, bukan hanya omong kosong hanya membicarakan kelelawar. Lebih dari itu, ada siloka mendalam, makna-makna yang menghunjam menancap pada akar kehidupan dan budaya yang telah lama dianut oleh masarakat di Tatar Sunda.

Kinanti sesuai namanya memiliki arti "kin anu dianti" , makna filosofis terhadap pupuh ini adalah adanya harapan dan penantian dalam sirkulasi kehidupan. Bagi masyarakat Timur, kehidupan merupakan siklus, tidak bersifat linear, atau lurus. Hal inii menggambarkan tentang sulit sekali kehidupan apalagi jika hal transenden, kehadiran Yang Maha Kuasa hadir dalam kehidupan ini.

Jiwa manusia sebagai "budak leutik bisa ngapung" akan sulit menapaki hidup apalagi kembali kepada Yang Maha Kuasa sebelum mereka mampu menyerap unsur-unsur manis dalam hidup yaitu kebaikan dan kebahagiaan. Dalam tradisi Sunda , kita mengenal adanya konsep marakayangan. Sudah tentu, konsepsi ini mendapatkan perlawanan baik dari penganut positivisme atau religius mutlak. Acapkali pandangan ini disejajarkan dengan keyakinan dinamisme sedangkan pada saat yang sama, sebagian besar dari kita dituntut untuk meyakini hal-hal yang gaib. Penolakan ini berujung pada klaim dari keyakinan Semit, bahwa ajaran dan sekelumit keyakinan dari Timur merupakan ajaran khurafat dan dipenuhi oleh Bid'ah. Padahal persoalan ini belum menjamah pada tataran keilahian, hanya baru menyentuh ranah eksoterik.

Kinanti menunjang keyakinan dari Timur tentang perjalanan tak pernah berhenti jiwa manusia dari bersih agar kembali menjadi bersih. Sejak dahulu orang-orang yang tinggal di Timur telah mampu meracik pemikiran keilahian, penghindaran diri dari pemaduan antara hal profane dengan hal-hal immanent. Formula ini telah mampu melahirkan sebuah proyeksi keilahian dalam kehidupan, hubungan manusia dengan manusia akan terjalin dengan baik jika keilahian tidak dikaburkan dalam hidup ini. Tepa selira, handap asor, silih asah asih dan asuh merupakan proyeksi Maha Rohman dan Rohim Alloh dalam kehidupan. Tidak terbatas hanya pada hubungan antara aku dengan "alam kemudian" secara linier.

Dengan memaknai kinanti secara mendalam akan membuka diri kita tentang kehidupan ini. Adanya kekomplekan, jiwa manusia akan terus menerus secara simultan mencari jati dirinya hingga dia sadar siapa diri sebenarnya. Konsepsi esoteris telah berkembang dan menyebar dari Timur ke berbagai pelosok dan penjuru dunia. Diadopsi oleh beragam keyakinan, agama, dan kepercayaan dalam bingkai filosofis.

Di Babel, konsepsi esoteris dikembangkan oleh seorang Ibrahim, dalam beragam kepercayaan, Ibrahim dikenal sebagai bapak monotheisme. Ibrahim dikenal sebagai seorang Zarathustra, dimana fisik manusia digambarkan sebagai karat yang menempel pada sembrani, dia harus dibakar, meskipun hidup-hidup. Prosesi pembakaran terhadap Ibrahim sebagai seorang sophis pun diaktualisasikan dalam bingkai ritual penganut ajaran Majusi.

Prosesi pembakaran terhadap Ibrahim bukan sebatas dimasukkan ke dalam ritual Majusi. Hal tersebut lantas diinterpretasikan oleh masyarakat Babel, Kanaan, dan Hebrew. Interpretasi lebih mengarah kepada hal yang lebih abstrak tentang titik akhir kehidupan manusia. Agar kembali kepada kesucian dan bersih dari kotoran selama menjalani hidup, manusia akan dibakar di alam kemudian. Dengan pembakaran di dalam neraka ini, jiwa manusia akan kembali kepada kesucian yang telah siap berjumpa dengan Tuhannya.

Dalam Kinanti lebih ditandaskan, untuk menjadi dan menjelma menjadi manusia seutuhnya dan suci, pembakaran justru akan terus berlangsung di dunia ini. Karuhun Sunda telah membuat sebuah "ugeran" atau "tali paranti" dalam beberapa pribasa seperti; melak cabe jadi cabe, melak bonteng jadi bonteng. Moal aya haseup lamun euweuh seuneu. Pertanyaan mendalam dalam kehidupan ini sering terlewati dalam hidup, kenapa aku lahir, untuk apa aku hidup, dan akan kemana setelah ini? Sulit dicerna dan dijawab ketika kita belum bisa memecahkan pertanyaan seperti: kenapa di dunia ini ada manusia dengan jasad atau fisik utuh, namun kenapa juga ada manusia dengan jasad atau fisik tidak utuh (tanpa daksa)?

Artinya, dalam pepatah orangtua kita sering diungkapkan kalimat, "kudu bisa ngariksa diri, kudu bisa ngaraksa badan". Konsepsi esoteris ini mengajak dan mengajarkan manusia agar lebih mengenal dirinya sendiri daripada harus memperbanyak menilai orang lain. Sebab manusia dilahirkan ke alam dunia ini tidak memiliki peran  sebagai seorang wasit bagi orang lain. Kita hanyalah para pemain "budak leutik bisa ngapung."

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Kinanti"