Atret Jadi Potret

Perkembangan teater di Sukabumi tidak terlepas dari akar budaya masyarakatnya. Di zaman aksial, ketika peradaban manusia mulai tumbuh dengan dibentuknya berbagai unsur-unsur kebudayaan oleh sebuah masyarakat, terutama didominiasi oleh unsur keyakinan. Tradisi terbentuk dan terpola mengikuti bahkan ditentukan oleh untuk apa tradisi diadakan di dalam kehidupan? Unsur kebudayaan seperti seni di era aksial benar-benar tumbuh dalam bingkai atau kerangka keyakinan.

Manusia sebagai mahluk sosial memiliki satu kecendrungan alamiah, eksistensi dan keberadaannya merasa harus diakui oleh orang lain. Maka lahirlah keinginan untuk mengaktualisasikan dan mengekspresikan pengalaman dan impuls-impuls yang ada dalam diri mereka melalui berbagai bentuk rupa, tampilan, pertunjukkan, musik, hingga teater. Kekuatan keyakinan dalam memengaruhi perwujudan seni begitu jelas terlihat dalam ekspresi kehidupan masyakat aksial awal atau tradisional, bahkan hingga sekarang, di tatar Pasundan fenomena penampilan seni masih menunjukkan hal ini. Misalkan, Ubrug, Banjet, Longser, Topeng , Tarling, dan Ketuk Tilu, Beluk, Karinding, hingga teater.

Pertunjukkan teater tradisional kecuali dimaksudkan untuk mengikatkan masyarakat dalam berkeyakinan dan media pengenalan sebuah keyakinan kepada masyarakat, juga sebagai media hiburan. Ditampilkan dalam acara-acara tertentu misalkan pada perayaan kenduri. Kekuatan yang tampak pada adegan, perwatakan, hingga koreografi para pemain memperlihatkan betapa kuatnya kekuatan magis yang mengalir dalam pertunjukkan teater tradisional.

Teater modern lahir sebagai sintesis konklusif  –bukan antithesis – terhadap teater tradisional. Perkembangan kehidupan mengakibatkan tema-tema sentral dan sakral dalam sebuah pertunjukkan harus dikombinasikan dengan kenyataan empiris, antara mitos dan realitas.  Kekuatan magis dalam pertunjukkan teater harus dibumikan dalam refleksi yang menyentuh kehidupan manusia. Teater tidak dibatasi sebagai kegiatan magic expression, juga telah dikenalkan sebagai  ‘ wayang’ dalam hidup. Refleksi pergolakan baik dan benar, bukan sebatas pada baik dan baik saja. Tema-tema satire , bagaimana sebuah  pertunjukkan mampu menyajikan kritik terhadap hidup, melodramatik, mulai terlihat pada masa awal perkembangan teater modern. Tidak sampai di sana, pertunjukkan opera di beberapa Negara Eropa kemudian diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia oleh Belanda banyak memilih satire-satire terhadap keyakinan dan pandangan tradisional masyarakat yang harus segera ditinggalkan.

Satire dan sindiran tematik terhadap kehidupan manusia modern terlihat pada pertunjukkan teater modern; baik dalam bentuk drama , calung,  dan reog. Tema-tema ini lahir disebabkan oleh fenomena mencolok , wacana yang berkembang, dan issue-issue politik yang sedang terjadi di dalam kehidupan. Teater modern menjadikan improvisasi kekuatan tema sebagai acuan dari sekedar bagaimana agar sebuah pertunjukkan mampu membahasakan kembali nilai-nilai keyakinan kepada penonton.

Perkembangan teater di Sukabumi pun tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teater di dunia. Sedikit sekali data primer yang bisa dijadikan rujukan jika di Sukabumi ini pernah menjamur kelompok-kelompok teater yang menyebar di setiap daerah. Pada medio tahun 70-an, selain menjamur gedung bioskop, beberapa sanggar seni teater juga mulai dikenal luar oleh masyarakat, misalkan Sri Asih, Uyeg Sukabumi, dan Reog Supados. Sarana hiburan rakyat ini dihadirkan oleh sanggar-sanggar seni tersebut sebagai bentuk revitalisasi terhadap teater-teater yang tersebar di masyarakat Sukabumi waktu itu. Revitalisasi dan reinvensionisasi teater pun berlangsung di beberapa sekolah dengan dibentuknya ekstra-kurikuler teater, misalkan: Epigonen di SMA Negeri 1 Sukabumi.

Pertunjukkan teater tidak akan pernah kehilangan tema, sebab mengalir mengikuti arus kehidupan. Pada tanggal 24-26 Januari 2014, Komunitas Teater Sukabumi dalam paguyuban Ngaraga telah mementaskan Drama Komedia Sunda: Atrét jadi Potret di Gedung Juang Sukabumi. Pentas teater ini sebagai bentuk satire sekaligus refleksi yang dipancarkan dalam diri seorang Atrét (alm) agar menjadi “eunteung kahirupan” manusia-manusia normal seperti kita. Ini bukan arti sebenarnya, melainkan sebuah satire jika dalam salah satu dialog tokoh dalam pertunjukkan tersebut, Haji Kohar meneriakkan dengan lantang: “ Ceuk saha Si Atrét gélo? Ceuk saha? Manéhna leuwih kawentar jeung dikenal tibatan para walikota Sukabumi!”

Syam Firmasyah memerankan tokoh Haji Kohar dengan sangat apik. Haji Kohar menyampaikan satire sederhana, untuk menjadi manusia yang dikenal oleh orang lain, manusia harus mengerjakan pekerjaan secara konsisten, tetap, ‘tuhu kana aturan’. “ Pokona, pamaréntah kudu ngidinan, kuring arék nyieun patung Si Atrét di alun-alun Sukabumi Masalah biaya?? Keun kuring anu nanggungjawabna!” Ungkap Haji Kohar sebagai bentuk keinginan mewujudkan Si Atrét sebagi icon di Sukabumi.

Apakah ini benar? Tentu saja tidak, ini hanya sebuah pertunjukkan drama yang mengandung satire dan singgungan. Tidak melukai hati siapa pun namun mampu menyadarkan manusia agar bersikap konsisten dalam hidup, agar pada suatu saat nanti potret kehidupan kita bisa dilihat dan diamati oleh orang lain.


Kang Warsa 

Posting Komentar untuk "Atret Jadi Potret"